Selain
kalangan swasta, politisi adalah pihak yang paling sering menyandang
status tersangka kasus korupsi, khususnya yang ditangani KPK. Coba saja
tengok kasus proyek Hambalang, kasus sapi impor atau kasus wisma atlet
Sea Games. Semua kasus itu melibatkan para politisi.
Sejauh
ini, politisi berstatus tersangka korupsi memang selalu diganjar
hukuman oleh pengadilan. Lalu, bagaimana dengan partai dimana politisi
korup itu bernaung? Praktis, partai-partai politik itu bebas dari
hukuman.
Peneliti
ICW Abdullah Dahlan mengatakan modus korupsi politik umumnya terencana.
Abdullah bahkan melihat ada unsur koordinasi dalam sebuah kasus korupsi
politik. Koordinasi itu melibatkan politisi baik itu di legislatif
maupun eksekutif.
“Kasus-kasus
korupsi ini terlihat terencana, terkoordinasi dan by design dengan
baik, hal ini bisa terlihat dari mulai perencanaan yang dilakukan sejak
awal, ada komunikasi antara politisi legislatif, birokarasi eksekutif
serta juga ada pembicaraan dengan pelaksana tender,” tutur Abdullah
dalam sebuah diskusi di Komisi Hukum Nasional (KHN), Rabu lalu (13/2).
Dikatakan
Abdullah, korupsi politik di negeri ini semakin merajalela. Terlebih
pada tahun 2013 ini, dimana ajang demokrasi terbesar yakni Pemilu 2014
hanya berselang satu tahun lagi. Menurut dia, tahun 2013 potensial
terjadi partai-partai politik melegalkan cara-cara korupsi demi
kepentingan pemilu.
“Inilah
yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus dan serius dari semua
kalangan, termasuk partai politik. Jangan sampai wajah politik negeri
ini dikotori dengan perilaku koruptif terlebih menghadapi pemilu,” kata
dia.
Dalam
acara yang sama, Ketua KHN Prof Jacob Elfinus Sahetapy juga
mengutarakan keprihatinan terhadap maraknya korupsi politik. Ekstremnya,
menurut Prof Sahetapy, korupsi politik bisa membuat Indonesia hancur.
“Tinggal menunggu waktu saja Indonesia akan hancur, jika melihat
kelakuan partai politik yang busuk,” ujarnya.
Pakar
hukum dari Universitas Airlangga ini berpendapat partai politik
seharusnya turut diberikan sanksi hukum jika kadernya terlibat kasus
korupsi. Sayangnya, hal tersebut belum bisa diwujudkan karena regulasi
yang berlaku saat ini tidak ada yang mengatur secara khusus tentang
ancaman sanksi untuk partai politik sebagai dampak dari perilaku
koruptif kadernya.
Abdullah
Dahlan sepakat dengan Sahetapy. Menurutnya, partai politik sudah
sepatutnya diberikan sanksi hukum jika kadernya terbukti melakukan
korupsi. Sayangnya, diakui Abdullah, dasar hukumnya belum ada. “Di dalam
Undang-undang Partai Politik pun tidak ada klausul satu pun yang
menyebabkan partai bisa dibubarkan, atau dibekukan kepesertaannya kalau
partai terkait kasus korupsi,” ujarnya.
Berdasarkan
penelusuran, UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik serta
undang-undang perubahannya, UU No 2 Tahun 2011 memang tidak memuat
ketentuan yang spesifik mengatur ancaman sanksi terhadap partai politik
terkait kasus korupsi kadernya.
Namun
dari total empat pasal dalam Bab Sanksi, terdapat beberapa pasal dan
ayat yang sebenarnya bisa digunakan untuk menjerat partai politik
terkait kasus korupsi. Meskipun hanya sanksi administratif. Pasal-pasal
dan ayat-ayat itu antara lain Pasal 47 ayat (5), Pasal 48 ayat (2), (3),
(4), dan (5).
Pasal
47 ayat (5) berbunyi, “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif
yang ditetapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga
kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya”. Pasal 40
ayat (3) huruf e tentang larangan partai politik menggunakan fraksi di
MPR,DPR, DPD, dan DPRD sebagai sumber pendanaan partai politik.
Dari
rumusan Pasal 47 ayat (5), sebuah partai politik bisa saja dikenai
sanksi administratif jika penegak hukum dapat membuktikan bahwa kader
partai itu di parlemen melakukan korupsi dengan tujuan mendanai partai
politiknya. Sayangnya, Pasal 47 ayat (5) mensyaratkan bahwa penetapan
sanksi dilakukan oleh “badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga
kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya” yang hingga
kini belum ada.
0 komentar:
Posting Komentar