Home » » Air Mata, Perlawanan Perempuan Melanesia di Papua Atas Diskriminasi

Air Mata, Perlawanan Perempuan Melanesia di Papua Atas Diskriminasi

Written By Unknown on Kamis, 05 Desember 2013 | 18.16

Ilustrasi perempuan melanesia di Papua. Foto: MS
Waktu itu tanggal 3 Juni 2013. Pagi itu, saya cepat bangun pada pukul 06:00 WIT. Lalu, saya mulai mengerjakan segalah aktivitas di dapur, mulai dari menyiapakan sarapan, mencuci piring, dan membangunkan suami untuk sarapan.  
Setelah semua beres, saya mandi dan siap untuk ke kantor polisi untuk mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Setelah sarapan,  saya menunggu suami saya mandi, setelah suamiku siap, kami berdua mulai berangkat menuju ke kantor polisi.

Setiba di sana suami saya langsung pergi karena ada panggilan mendadak dari bosnya. Kemudian, saya langsung menuju ke pos penjagaan untuk melaporkan diri sekaligus menanyakan ruang untuk mengurus SKCK.

"Slamat pagi pak?"  begitulah saya menyapa. Lalu polisi ini menyapaku, "Pagi, bagaimana bu ada yang bisa kami bantu?" Lalu, saya jelaskan, "Begini pak, saya mau tanya, di mana ruangan untuk mengurus SKCK?" Kemudian polisis itu menunjukkan tempat di mana biasanya orang mengurus SKCK. Saya menuju ke tempat yang sudah diberitahu oleh pak polisi tersebut.

Hari itu adalah hari Senin,  banyak orang yang juga mengurus SKCK untuk keperluan masing-masing. Saya mulai melaporkan tujuan saya pada seorang polisi yang bertugas untuk mengurus SKCK di sana. "Selamat pagi pak, saya mau mengurus SKCK," kataku memberitahu tujuanku. Kemudian pak polisi itu, mengambil selembaran kertas yang isinya blanko biodata untuk diisi identitas. Ia memberikan blanko tersebut kepada saya.

"Ini bu blankonya, diisi dulu biodatanya lalu serahkan biodatanya ibu ke tempat pembuatan sidik jari,"kata polisi memberikan petunjuk.  Pemikiran saya pada saat itu, setelah mengisi biodata tersebut, langsung dibuatkan SKCK. Lalu saya bertanya, "Pak mengapa harus biodata saya dibawa ke tempat pembutan sidik jari, sayakan mau urus SKCK?" Lalu pak polisi tersebut menjelaskan mengapa mereka menyuruh saya agar memberikan biodata ke ruang pembutan sidik jari.

"Ibu, sebelum mengurus SKCK ibu harus punya sidik jari, karena sidik jari merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, untuk membuat SKCK," kata polisi ini menjelaskan. "Iya pak,  makasih atas penjelasannya," kataku.

Kemudian,  saya menuju ke tempat pembuatan sidik jari yang tidak jauh dari tempat pembuatan SKCK. Saya memberikan biodata saya kepada salah satu polisi yang ada di dalam ruang. Ia menyuruhku untuk menunggu sebantar, karena pada saat itu banyak orang yang antri untuk membuat sidik jari, sabagai perlengkapan persyaratan pembuatan SKCK.

Sambil menunggu dipanggil oleh polisi, tiba- tiba ada dua orang cewek melayu yang datang dan memasukan biodata mereka di tempat pembuatan sidik jari. Tidak lama kemudian mereka berdua dipanggil oleh pak polisi tersebut, untuk dirumusi jari mereka. Lalu dalam hati saya bertanya, "Mengapa kedua cewe Melayu tersebut yang dipanggil duluan daripada kami yang duluan memasukan biodata?" Kemudian, seorang cewek Melanesia memprotes apa yang telah dilakukan oleh polisi untuk kedua cewek Melayu tersebut.

"Pak..!! Mengapa harus mereka berdua yang diurus sidik jarinya duluan dari pada kami yang memasukan biodata lebih dulu," kata perempuan Melanesia itu. "Nama kamu siapa, dan tadi masukan berkasnya kepada siapa?," tanya polisi ini. "Tadi saya masukan pada temannya bapak," kata perempuan Papua ini.  "Oh.. kalau begitu tunggu saja orang yang tadi kamu masukan biodatamu," kata polisi ini menjelaskan.

Polisi ini menjelaskan lagi, "Kedua cewe tadi yang duluan diurus sidik jarinya, adalah anak kepalah ruangan di sini." "Iya pak, tapi tidak seharusnya mereka duluan yang dibuatkan sidik jarinya. Karena kami sudah lebih dulu yang memasukan biodatanya dan kami telah menunggu lama, kira-kira sudah 15 menit kami menunggu untuk dipanggil," kata perempuan Papua ini protes.

Tanpa penjelasan lebih lanjut, pak polisi mengalihkan pembicaraan.  "Kalian mau mengurus SKCK untuk melamar pekerjaan atau mau melanjutkan kuliah?," tanya polisi ini mengalihkan. Kami semua diam tanpa ada satu pun yang menjawab. Kemudian saya mendekati dia yang tadi memprotes polisi.

Lalu saya berkata saya, "Kawan begitu sudah, orang melayu punya permainan. Kami selalu dinomor duakan, padahal mereka cuma datang ke tanah ini sebagai orang asing yang hanya ingin mencari makan, untuk mempertahankan hidup mereka, dari kami punya kelimpahan harta di tanah ini."

"Iya itu benar kawan, kami selalu diasingkan di tanah kami sendiri. Dan, banyak sekali ketidakadilan yang terjadi pada kami orang Melanesia di atas tanah kami sendiri," kata perempuan Melanesia ini. Kami berdua berbincang-bincang sambil menunggu nama kami dipanggil. Karena asyik bercerita, kami tidak sempat mendengarkan nama kami dipanggil.

Lalu, untuk ke dua kalinya polisi memanggil nama kami, ternyata namanya yang dipanggil duluan untuk mengambil sidik jarinya dan setelah dia nama saya juga dipanggil. Setelah mengambil sidik jari, kami tambahkan persyaratan lainnya untuk melengkapi persyaratan pembuatan SKCK.

Sambil menunggu SKCK,  kami mulai berkenalan nama dan saling menanyakan apa tujuan pembutan SKCK antara kami. "Kawan ko mau urus SKCK untuk apa?," tanyaku. "Saya mau urus SKCK untuk melamar kerja?," kata temanku itu menjawab. Lalu, ia bertanya, "Kawan ko urus SKCK untuk apa?" Saya juga menjelaskan, "Saya juga mau urus SKCK untuk melamar pekerjaan, terus kawan mau melamar kerja di mana?," tanya saya ingin tahu. Teman saya bernama Anike menjelaskan, "Kawan sa mau lamar  di Bank Papua.Saya juga sama mau lamar pekerjaan di Bank Papua," kata saya menjelaskan.

Karena kami ingin melamar di tempat yang sama,  mulai saat itu kami menjadi teman yang dekat. Kami masukan lamaran bersama-sama di PT Bank Papua. Namun,  pada akhirnya kami berdua tidak lolos dalam seleksi persyaratan.

Tapi, ada banyak tanda tanya dalam penerimaan pegawai di Bank yang katanya milik orang Papua ini. Yang mengherankan dan membuat banyak pertanyaan, mengapa orang melayu saja yang diterima di Bank Papua? Padahal, Bank Papua milik orang Papua secara tidak langsung.

Anda tahu, apa yang terjadi pada saat dengar hasil seleksi berkas? Kami sebagian besar yang berdarah Melanesia tidak tembus. Pertanyaan saya, "Mengapa harus pake nama Bank Papua, kalau di dalamnya hanya sedikit orang Melanesia yang bekerja. Mereka yang bekerja juga tetapi tidak posisi penting."

Ini cerita kecilku, tapi ini menusuk harga diriku sebagai perempuan Melanesia di Papua. Cerita ini saya tulis agar anak-anak perempuan Melanesia di Papua Barat lebih tegar hadapi diskriminasi. Saat saya tulis, air mata berlinang. Tapi, saya mau, perempuan Melanesia di Papua di hari depan tidak diam harga dirinya terinjak diskrimasi.Saya mau mereka lebih kuat, tidak seperti saya yang kalah dengan air mata.

Saya alami dan menyaksikan, di saat ini, di pasar, di rumah sakit, dan mana-mana di tanah Papua, diskriminasi membakar rasaku sebagai perempuan Melanesia. Seakan-akan merobek-robek perasaanku.  Ingin berontak tapi apalah daya.  Air mata adalah penawar rasa sakitku sebagai seorang perempuan Melanesia di Papua Barat. Ini adalah dukaku dan duka kami, perempuan Melanesia di Papua.
Dari lubuk hatiku, saya minta tolong, jangan bawa-bawa nama Papua untuk menarik orang Papua kalau di dalamnya masih meng-anak tirikan kami. Saya ibu rumah tangga, perempuan Melanesia di Papua Barat yang kastau e.

Sumber :http://majalahselangkah.com

1 komentar: