Ilustrasi perempuan melanesia di Papua. Foto: MS |
Setelah semua beres, saya mandi dan siap untuk ke kantor
polisi untuk mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Setelah
sarapan, saya menunggu suami saya mandi,
setelah suamiku siap, kami berdua mulai berangkat menuju ke kantor polisi.
Setiba di sana suami saya langsung pergi karena ada
panggilan mendadak dari bosnya. Kemudian, saya langsung menuju ke pos penjagaan
untuk melaporkan diri sekaligus menanyakan ruang untuk mengurus SKCK.
"Slamat pagi pak?" begitulah saya menyapa. Lalu polisi ini
menyapaku, "Pagi, bagaimana bu ada yang bisa kami bantu?" Lalu, saya jelaskan, "Begini
pak, saya mau tanya, di mana ruangan untuk mengurus SKCK?" Kemudian polisis itu
menunjukkan tempat di mana biasanya orang mengurus SKCK. Saya menuju ke tempat
yang sudah diberitahu oleh pak polisi tersebut.
Hari itu adalah hari Senin, banyak orang yang juga mengurus SKCK untuk
keperluan masing-masing. Saya mulai melaporkan tujuan saya pada seorang polisi
yang bertugas untuk mengurus SKCK di sana. "Selamat pagi pak, saya mau mengurus
SKCK," kataku memberitahu tujuanku. Kemudian pak polisi itu, mengambil
selembaran kertas yang isinya blanko biodata untuk diisi identitas. Ia
memberikan blanko tersebut kepada saya.
"Ini bu blankonya, diisi dulu biodatanya lalu serahkan
biodatanya ibu ke tempat pembuatan sidik jari,"kata polisi memberikan petunjuk.
Pemikiran saya pada saat itu, setelah
mengisi biodata tersebut, langsung dibuatkan SKCK. Lalu saya bertanya, "Pak
mengapa harus biodata saya dibawa ke tempat pembutan sidik jari, sayakan mau
urus SKCK?" Lalu pak polisi tersebut menjelaskan mengapa mereka menyuruh saya
agar memberikan biodata ke ruang pembutan sidik jari.
"Ibu, sebelum mengurus SKCK ibu harus punya sidik jari,
karena sidik jari merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, untuk
membuat SKCK," kata polisi ini menjelaskan. "Iya pak, makasih atas penjelasannya," kataku.
Kemudian, saya menuju
ke tempat pembuatan sidik jari yang tidak jauh dari tempat pembuatan SKCK. Saya
memberikan biodata saya kepada salah satu polisi yang ada di dalam ruang. Ia
menyuruhku untuk menunggu sebantar, karena pada saat itu banyak orang yang
antri untuk membuat sidik jari, sabagai perlengkapan persyaratan pembuatan
SKCK.
Sambil menunggu dipanggil oleh polisi, tiba- tiba ada dua
orang cewek melayu yang datang dan memasukan biodata mereka di tempat pembuatan
sidik jari. Tidak lama kemudian mereka berdua dipanggil oleh pak polisi
tersebut, untuk dirumusi jari mereka. Lalu dalam hati saya bertanya, "Mengapa
kedua cewe Melayu tersebut yang dipanggil duluan daripada kami yang duluan
memasukan biodata?" Kemudian, seorang cewek Melanesia memprotes apa yang telah
dilakukan oleh polisi untuk kedua cewek Melayu tersebut.
"Pak..!! Mengapa harus mereka berdua yang diurus sidik
jarinya duluan dari pada kami yang memasukan biodata lebih dulu," kata
perempuan Melanesia itu. "Nama kamu siapa, dan tadi masukan berkasnya kepada
siapa?," tanya polisi ini. "Tadi saya masukan pada temannya bapak," kata
perempuan Papua ini. "Oh.. kalau begitu
tunggu saja orang yang tadi kamu masukan biodatamu," kata polisi ini
menjelaskan.
Polisi ini menjelaskan lagi, "Kedua cewe tadi yang duluan
diurus sidik jarinya, adalah anak kepalah ruangan di sini." "Iya pak, tapi tidak
seharusnya mereka duluan yang dibuatkan sidik jarinya. Karena kami sudah lebih
dulu yang memasukan biodatanya dan kami telah menunggu lama, kira-kira sudah 15
menit kami menunggu untuk dipanggil," kata perempuan Papua ini protes.
Tanpa penjelasan lebih lanjut, pak polisi mengalihkan
pembicaraan. "Kalian mau mengurus SKCK
untuk melamar pekerjaan atau mau melanjutkan kuliah?," tanya polisi ini
mengalihkan. Kami semua diam tanpa ada satu pun yang menjawab. Kemudian saya
mendekati dia yang tadi memprotes polisi.
Lalu saya berkata saya, "Kawan begitu sudah, orang melayu
punya permainan. Kami selalu dinomor duakan, padahal mereka cuma datang ke
tanah ini sebagai orang asing yang hanya ingin mencari makan, untuk
mempertahankan hidup mereka, dari kami punya kelimpahan harta di tanah ini."
"Iya itu benar kawan, kami selalu diasingkan di tanah kami
sendiri. Dan, banyak sekali ketidakadilan yang terjadi pada kami orang Melanesia
di atas tanah kami sendiri," kata perempuan Melanesia ini. Kami berdua
berbincang-bincang sambil menunggu nama kami dipanggil. Karena asyik bercerita,
kami tidak sempat mendengarkan nama kami dipanggil.
Lalu, untuk ke dua kalinya polisi memanggil nama kami, ternyata
namanya yang dipanggil duluan untuk mengambil sidik jarinya dan setelah dia nama
saya juga dipanggil. Setelah mengambil sidik jari, kami tambahkan persyaratan
lainnya untuk melengkapi persyaratan pembuatan SKCK.
Sambil menunggu SKCK,
kami mulai berkenalan nama dan saling menanyakan apa tujuan pembutan
SKCK antara kami. "Kawan ko mau urus SKCK untuk apa?," tanyaku. "Saya mau urus
SKCK untuk melamar kerja?," kata temanku itu menjawab. Lalu, ia bertanya, "Kawan
ko urus SKCK untuk apa?" Saya juga menjelaskan, "Saya juga mau urus SKCK untuk
melamar pekerjaan, terus kawan mau melamar kerja di mana?," tanya saya ingin
tahu. Teman saya bernama Anike menjelaskan, "Kawan sa mau lamar di Bank Papua.Saya juga sama mau lamar
pekerjaan di Bank Papua," kata saya menjelaskan.
Karena kami ingin melamar di tempat yang sama, mulai saat itu kami menjadi teman yang dekat.
Kami masukan lamaran bersama-sama di PT Bank Papua. Namun, pada akhirnya kami berdua tidak lolos dalam
seleksi persyaratan.
Tapi, ada banyak tanda tanya dalam penerimaan pegawai di
Bank yang katanya milik orang Papua ini. Yang mengherankan dan membuat banyak
pertanyaan, mengapa orang melayu saja yang diterima di Bank Papua? Padahal, Bank
Papua milik orang Papua secara tidak langsung.
Anda tahu, apa yang terjadi pada saat dengar hasil seleksi
berkas? Kami sebagian besar yang berdarah Melanesia tidak tembus. Pertanyaan
saya, "Mengapa harus pake nama Bank Papua, kalau di dalamnya hanya sedikit orang
Melanesia yang bekerja. Mereka yang bekerja juga tetapi tidak posisi penting."
Ini cerita kecilku, tapi ini menusuk harga diriku
sebagai
perempuan Melanesia di Papua. Cerita ini saya tulis agar anak-anak
perempuan Melanesia
di Papua Barat lebih tegar hadapi diskriminasi. Saat saya tulis, air
mata berlinang. Tapi, saya mau, perempuan
Melanesia di Papua di hari depan tidak diam harga dirinya terinjak
diskrimasi.Saya mau mereka lebih kuat, tidak seperti saya yang kalah
dengan air mata.
Saya alami dan menyaksikan, di saat ini, di pasar, di rumah
sakit, dan mana-mana di tanah Papua, diskriminasi membakar rasaku sebagai
perempuan Melanesia. Seakan-akan merobek-robek perasaanku. Ingin berontak tapi apalah daya. Air mata adalah penawar rasa sakitku sebagai seorang
perempuan Melanesia di Papua Barat. Ini adalah dukaku dan duka kami, perempuan
Melanesia di Papua.
Dari lubuk hatiku, saya minta tolong, jangan bawa-bawa nama
Papua untuk menarik orang Papua kalau di dalamnya masih meng-anak tirikan kami.
Saya ibu rumah tangga, perempuan Melanesia di Papua Barat yang kastau e.Sumber :http://majalahselangkah.com
AMAKANE MEPAOOOO
BalasHapus