Home » »

Written By Unknown on Selasa, 28 Mei 2013 | 21.57


 

AS, MAJALAH SELANGKAH -- Kongres Amerika Serikat (AS), Komisi Hak Asasi Manusia menggelar Sidang soal kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada Kamis, 23 Mei 2013 lalu pada pukul 10:00-12:00 bertempat Room 2261 of the Rayburn House Office Building.
Sidang yang intinya meninjau situasi hak asasi manusia di Indonesia dan kebijakan luar negeri AS dengan pandangan menuju pemilihan presiden dan parlemen di Indonesia pada tahun 2014 mendatang itu mengundang Octovianus Mote, Negosiator Perdamaian Papua untuk menberi materi soal kondisi HAM di tanah Papua.
Kepada majalahselangkah.com, Octovianus Mote menyampaikan, ia diberi kesempatan untuk menyampaikan pernyataan lisan kepada Tom Lantos Human Rights Commission (TLHRC). Kata dia, dalam pernyataan lisan itu, ia menyampaikan lima rekomendasi untuk dipikirkan oleh Kongres AS.
Pertama, untuk mengeluarkan resolusi Kongres AS yang mendesak pemerintah AS untuk melaksanakan tanggung jawabnya untuk melindungi  (responsibility to protect) untuk mengakhiri kejahatan melawan kemanusiaan terhadap rakyat Papua Barat.
Kedua, resolusi yang sama seharusnya mendesak pemerintah Indonesia untuk mulai negosiasi dengan maksud baik dengan tim damai Papua dengan mediasi pihak internasional.
Ketiga, untuk mendukung tim damai Papua dengan dukungan logistik dan riset melalui riset-riset di Amerika dan lembaga think tank dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuannya untuk mewakili Papua dalam perundingan damai.
Keempat, untuk meminta pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan moral, politik, dan logistik yang diperlukan bagi pemerintahan Yudhoyono untuk memulai perundingan damai dengan tim damai Papua.
Kelima, untuk memberi syarat dalam bantuan keamanan Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia tentang mengakhiri pelanggaran HAM di Papua Barat dan tentang apakah pemerintah Indonesia akan berunding dengan niat baik dengan masyarakat Papua Barat.
Octovianus Mote adalah mantan kepala biro Papua di Kompas, Harian terbesar di Indonesia. Menyusul pertemuan antara Tim 100 Pemimpin Papua dan Presiden BJ. Habibie pada 1999, ia meninggalkan Papua untuk bersembunyi di Amerika Serikat karena diancam dibunuh oleh pasukan keamanan Indonesia. Ia mendapatkan suaka dan warganegara AS, sejak itu ia terus-menerus tanpa lelah melobi Kongres AS dan pemerintah AS untuk isu HAM di Papua dan Indonesia secara lebih luas.
Ia adalah penerima Tom and Andy Berstein Senior Human Rights Fellow di Yale Law School. Belum lama ini, ia menjadi ketua Tim Papua Damai yang bekerja sama sangat dekat dengan proyek riset Peacebuilding Compared di Australian National University yang dipimpin oleh Professor John Braithwaite.
Pada Konferensi Papua Damai yang diadakan pada 2011 yang diadakan oleh Jaringan Damai Papua (Papua Peace Network) di Jayapura, secara demokratis ia dipilih sebagai satu dari antara lima orang Negosiator Papua Damai. Keempat orang yang lain adalah  Rex Rumakiek (di Australia), DR. John Otto Ondawame (di Australia), Benny Wenda (di Inggris), dan LeoniTanggahma (di Belanda).  Mereka ditetapkan berdasarkan 17 macam kriteria.
Kriteria dimaksud antara lain adalah harus mampu menggunakan bahasa Inggris standar (speaking, listening, reading and writing), memiliki kemampuan diplomasi dan bernegosiasi (bersertifikat), memahami proses  sejarah perjuangan Papua,  jururunding bukan pemimpin, tapi mendapat mandat dari pemimpin serta ada beberapa kriteria yang khusus dan penting. (GE/MS)

0 komentar:

Posting Komentar