Home » » Pemerintah Indonesia adalah Negara Pelanggar Hukum Internasional & Nasional

Pemerintah Indonesia adalah Negara Pelanggar Hukum Internasional & Nasional

Written By Unknown on Senin, 27 Mei 2013 | 01.36

mempertanggungjawabkan isu ini, Activist Independence Papua Sebby Sambom dapat memberikan pendapatnya berdasarkan pengamatan dan penelidikannya selama 22 Tahun tentang kesalahan Pemerintah Indonesia dalam hal memberikan definisi pada setiap ratifikasi Hukum HAM Internasional, kedalam Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam article Release ini dapat menjelaskan atas pelanggaran-pelanggaran hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, yang Pemerintah Republik Indonesia lakukan dari tahun ke tahun. Mengapa? Sebab dari Deklarasi Universal atas Hak-Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948; Pengesahan dan penandatanganan Kovenan Internasional (International Covenant on Civil and Political Rights) pada tanggal 16 Desember 1966; serta Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa  atas Hak-Hak Masyarakat Adat (the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) pada tanggal 13 September 2007;
Hal ini dapat dipersoalkan karena Pemerintah Republik Indonesia tidak pernah mengindahkan semua Deklarasi dan Kovenan-Kovenan Internasional, sekalipun Indonesia juga ikut menyetujui dan turut ambil bagian dalam penandatanganannya.
Untuk membuktikannya, public diberikan sesempatan yang seluas-luasnya agar dapat mengikuti contoh-contoh kasus pelanggaran Hukum dan HAM, yang Pemerintah Republik Indonesia telah dan sedang lakukan pada bagian bawah ini:
Contoh Pertama, Pelanggaran Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia oleh Pemerintah Republlik Indonesia Melalui  Aneksasi Bangsa Papua Barat Kedalam Wilayah Republik Indonesia. Ini adalah salah satu contoh berdasarkan fakta, yang Pemerintah Indonesia melanggar, yang terutama pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat, yang mana Pemerintah Indonesia laksanakan tidak sesuai denganInternational Covenant on Civil and Political Rights (Part I Article 1 Paragraph 1, 2, 3 Part II Article 5 Paragraph 1, 2,; Part III Article 6 Paragraph 1, 2, ; Article 7 Article 9 Paragraph 1; Article 10 Paragraph 1; Article 14 Paragraph 1, dan 2). Hal ini terbukti bahwa pelanggaran hukum dan hak-hak asasi manusia ini lebih banyak Pemerintah Indonesia lakukan terhadap bangsa Papua Barat dan Aceh, yang mana tidak pernah akhirnya dalam kehidupan masyarakat.
Contoh Kedua, Pelanggaran Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia  oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kampanye Kontroversi Tentang Kovenan Internasional. Untuk lebih jelasnya boleh ikuti  kutipan VERSI DEPLU RI dibawah ini:
Laporan Awal Republik Indonesia Tentang Implementasi dari Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) oleh Departeman Luar Negeri Republik Indonesia 2007.
Dari bagian angka romawi I  (PENDAHULUAN) halaman satu sampai bagian angka romawi V (SARAN-SARAN DAN REKOMENDASI) halaman seratus empat puluh, terdapat banyak kejanggalan yang mana sebenarnya lebih banyak merugikan masyarakat adat pribumi Internasional.
Hal ini terbukti dari pendefinisian pasal demi pasal Kovenan Internasional oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007, yang mana terjemahan dan pendefinisiannya diluar perhitungan yang tidak sesuai keinginan masyarakat Internasional serta tidak sesuai kehendak mayoritas negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bergabung dan turut serta dalam penandatanganannya.
Dalam release  ini disusun dari point 1 hingga 604 dengan bagian-bagian, sesuai  definisi dari setiap pasal. Oleh karena itu, Activist Independence Papua mencoba memberikan contoh-contoh kejanggalan pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia pada bagian bawah dalam release ini.
2.1. Bagian angka romawi II. E. (Kerangka Hukum) atau angka romawi II. E. 1. (Undang-Undang dan Peraturan yang Mendukung HAM), pada point 65 halaman 16 dan halaman 17, yang menjelaskan bahwa Indonesia akan mendukung pemajuan-peningkatan Hak-Hak Asasi Manusia. Berikut komitmen Pemerintah Indonesia dapat dilihat dari point 65, yang mana mencantumkan semua Undang-undang, peraturan Pemerintah dan penganti undang-undang.
Yang dimaksud adalah:
65. Pemerintah Republik Indonesia telah berkomitmen dalam Pemajuan dan pelindungan Hak-Hak Asasi Manusia secara Umum. Hal ini dapat dilihat dari falsafah negara dan melalui perundangan nasional yang berhubungan dengan Hak-hak Asasi Manusia Seperti:
a. Pancasila, terutama sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”;
b. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA, Pasal 28A-28J;
c. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia;
d. Undang-Undang No. 26 Tahun  2000 tentang Pengadilan Hak-Hak Asasi Manusia;
e. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Kejahatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
f. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004, tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
g. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002, tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
h.Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002, tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Pelanggaran Berat Hak-Hak Asasi Manusia;
i.Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004, tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (2004-2009);
j. Perundang-Undangan tentang konvensi-Konvensi Utama Perserikatan bangsa-Bangsa:
- Undang-Undang No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi Hak Politik Perempuan;
- Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala  Bentuk      Diskriminasi terhadap Perempuan;
- Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1993, tentang Pengesahan Konvensi terhadap Apartheid Dalam Olahraga Tahun 1985;
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1998, tentang Pengesahan Konvensi terhadap Penjiksaan dan Kekejaman Lainnya, dan tindakan tidak manusiawi dan merendahkan harkat serta martabat Kemanusiaan;
- Undang-Undang No. 29 Tahun 1999, tentang Konvensi Internasional Pemberantasan Segala Bentuk Diskriminasi Ras;
-  Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi dari Hak Anak;
-  Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional atas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik;
 
Untuk menghubungkannya, semua Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Perpu dan Kepres yang dimaksud diatas dapat diratifikasikan dari:
 
* The Convention on the Rights  of the Child (1989);
* The Convention on Biologycal Diversity (1992);
* Agenda 21 (1992);
* The International Covention on Civil and Political Rights (1966);
* The International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (1966);
* The International Conference on Population and Development (1994);
* Dan Seterusnya Kovensi-Kovensi dan Deklarasi lainnya tentang Hak-Hak Asasi manusia.
2.2. Bagian angka romawi III (LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI   KOVENAN)
II. A . BAGIAN I Kovenan Internasional pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 dan berlanjut pada definisi atas pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan politik, yang termuat pada point 93 pada halaman 22; point 94, 95, 96, 97 pada halaman 23; point 98, 99, 100 dan 101 pada halaman 24; point 102 dan 103 pada halaman 25; serta point 104, 105, 106, dan 107 pada halaman 26. Selengkapnya dapat diuraikan kutipan asli yang Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia susun, berdasarkan arkumendasi versi politik Jakarta tanpa memperhitungkan definisi pemahaman Internasional yang sesungguhnya.
Yang dimaksud adalah:
 Pasal 1
1. Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. 
2. Semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri dapat mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerja sama ekonomi Internasional, berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum  internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas  hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber kehidupannya sendiri. 
3. Negara pihak pada Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan wilayah tanpa Pemerintahan Sendiri dan wilayah Perwalian, harus memajukan Perwujudan Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri, dan harus menghormati hak tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Silakan ikuti kutipan versi Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dibawah ini:
92. Pasal 1 dari International Covenant On Civil and political Rights  menjamin bahwa setiap bangsa memiliki hak menentukan nesib sendiri. Sebagai sebuah teori, konsep hak menentukan nasib sendiri memiliki berbagai definisi atau pemahaman bagi berbagai bangsa  yang berbeda. Di dalam sistim Perserikatan Bangsa-Bangsa, terhadap setidaknya lima pengertian dari hak menentukan nasib sendiri. Berkaitan dengan kelima pengertian tersebut, laporan ini bertujuan menganalisa apakah Indonesia telah mengimplementasikannya.
93. Definisi Pertama, dari menentukan nasib sendiri adalah kemerdekaan. Hal ini sering disebut sebagai tradisional atau dekolonisasi  “Salt Water”, yang berarti bahwa setiap wilayah yang mengalami penduduk asing berhak untuk menentukan nasibnya sendiri melalui implementasi dari penentuan nasib sendiri. Implementasi dekolonisasi seperti ini berhubungan dengan hak wilayah yang diduduki untuk  merdeka. Definisi ini oleh sebagian besar orang dianggap sebagai sesuatu yang telah dilunakan, karena sebagian besar wilayah yang menjadi daerah jajahan telah mendapatkan kemerdekaan dari pengaruh penjajah, Sehingga dekolonisasi diangkap tidak ada karena sempitnya makna.
94. Untuk Indonesia, arti dari penentuan nasib sendiri di dalam dekolonisasi hanya berlaku bagi wilayah yang masih dibawah pendudukan asing atau penjajahan, dan tidak dapat diterapkan bagi wilayah-wilayah yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah negara merdeka. Indonesia sendiri harus melalui proses perjuangan untuk menentukan nasibnya sendiri, setelah menderita selama periode yang lama dibawah penjajahan asing. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya yang menandakan bahwa hak menentukan nasib sendiri oleh bangsa Indonesia telah di implementasikan secara penuh. Pemerintah Indonesia memiliki undang-undang khusus (N0.3 tahun 2004 tentang pertahanan negara khususnya pasal 4 dan 7, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pertahanan negara ditunjukan bagi perlindungan kemerdekaan dan keutuhan wilayah negara.
95. Pemahaman kedua, dari hak menentukan nasib sendiri adalah bebas dari pengaruh asing. Hal ini berarti bahwa negara yang berdaulat harus bebas dari pendudukan tentara asing, dan juga dari serangan atau pengendalian pihak asing. Dalam hal ini Indonesia tidak memiliki permasalahan atas konsep tersebut. Sebagai bukti Indonesia telah mendukung sepenuhnya perjuangan bangsa Palestina, karena Indonesia percaya bahwa Palestina memiliki hak untuk bebas dari penduduk asing.
96. Makna ketiga, dari hak ini adalah otonomi. Definisi ini diterjemahkan sebagaimana di perlakukan di dalam sebuah negara berdaulat melalui pemberian kesempatan kepada kelompok tertentu yang di dasari oleh sebuah pertimbangan khusus. Indonesia telah mengimplementasikan konsep ini dengan cara memberikan otonomi kepada Pemerintah-Pemerintah daerah. Dalam keadaan tertentu Pemerintah tidak saja memberikan otonomi, namun lebih dari itu dapat di sebabkan adanya keadaan khusus di wilayah tersebut pasal 18b bagian 1 dari Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati bagian-bagian kekuasaan di wilayah yang merupakan wilayah khusus dan berbeda sesuai dengan ketentuhan hukum.
97. Provinsi Aceh dan Jogyakarta adalah contoh bahwa pemerintah telah memberikan otonomi istimewa.Pemerintah dalam hal ini memperkenalkan beberapa Hukum penting untuk menjamin implementasasi dari otonomi.Sebagai contoh pemerintah pada tahun 2004 telah membuat undang-undang No. 32 tentang Pemerintah Daerah. Amandemen-amandemen dari Undang-undang Dasar 1945 juga berisi ketentuan-ketentuan  khusus tentang kekuasaan daerah. Pasal 18 mengatakan bahwa NKRI dibagi menjadi Provinsi-Provinsi yang selanjutnya di bagi kedalam Kabupaten/kota, dan penguasa di Provinsi dan Kabupaten atau kota akan menegakan serta mengendalikan permasalahannya sendiri sesuai dengan prinsip otonomi daerah.  Pasal 6 lebih tegas mengatakan bahwa kekuasaan daerah memiliki kewenangan untuk mengadopsi ketentuan daerah lainnya  untuk mengimplementasikan otonomi dan tugas bantuan lainnya.
98. Pemahaman Keempat, dari hal penentuan nasib sendiri adalah Pemerintah yang demokratis. Pemerintah yang demokratis dapat diartikan bahwa rakyat memiliki hak untuk menentukan masa depan sendiri di dalam negara melalui kegiatan demokrasi seperti penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, berpikir, dan berkumpul. Pemahaman ini terkait erat dengan otonomi.Dalam hal ini, Indonesia tidak memiliki keberatan atas pemahaman ini. Sebagai sebuah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, Indonesia mendukung penerapan 5 standar demokratik seperti penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, berpikir dan berkumpul. Pilkada telah umum dilaksanankan di seluruh Indonesia. Pasal 18 bagian 4 dari Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa para Gubernur, Bupati dan Wali Kota, sebagai kepala Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya harus dipilih secara demokratis. Bagian 3 juga mengatakan kekuasaan Pemerintah di Provinsi, Kabupaten Kotamadya, juga termasuk DPRD yang aggotanya dipilih dalam pemilu.
99. Kadang kala dinamika penentuan nasib sendiri menimbulkan euphoria didalam masyarakat yang dapat berakibat buruk. Sebagai contoh implementasi  pemilu Bupati di Tuban Jawa Timur pada bulan Mei 2006 telah menciptakan kekacauan yang patut disayangkan, dalam bentuk pembakaran dan perusakan gedung-gedung yang penting dan bersejarah.
100. Pemahaman Kelima, dari penentuan nasib sendiri ditujukan hak-hak minoritas. Hak minoritas diterjemahkan sebagai hak kelompok yang memiliki otonomi budaya dan politik di dalam negara.Prinsip ini diterjemahkan norma-norma minoritas yang berkembang dan hak-hak penduduk asli yang tertuang didalam berbagai kovenan tentang organisasi regional dan Internasional, serta hak untuk berpasitipasi di dalam pemerintahan.Hal ini juga berlaku bagi kebebasan beragama. Bagi Indonesia hal ini diperesepsikan bahwa semua warga negara adalah sama dan serta, tanpa pembedaan yang didasari olah pertimbangan apapun. Dalam hal ini tidak mudah untuk menilai siapa yang diangkap sebagai kelompok minoritas di Indonesia.Namun Indonesia tak pernah mengabaikan hak-hak minoritas. Pasal 18 ayat 2 dari Undang-Undang Dasar 1945 manyatakan bahwa negara mengakui dan menghargai masyarakat tradisional beserta hak-hak adat, selama hal ini sesuai dengan pembangunan nasional serta prinsip-prinsip NKRI yang diatur oleh hukum.
101. Berdasarkan kelima pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwa semua warga negara memiliki hak mentukan nasip sendiri, dan berdasarkan hal tersebut mereka bebas menentukan status politik serta berpartisipasi dalam pembagunan ekonomi, sosial dan budayanya, sehingga pernyataan Pemerintah terkait dengan pasal 1 dari ICCPR tentang menentukan nasib sendiri adalah cerminan dari komitmen yang kuat pemerintah atas hak menentukan nasib sendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pasal 1 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dimana Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sesuai dengan pernyataan pemberian kemerdekaan bagi negara dan bangsa yang terjadi dan pernyataan tentang prinsip-prinsip hukum Internasional tentang hubungan persahabatan dan kerjasama antar negara sesuai dengan deklarasi dan rencana aksi vienna tahun 1993.
Versi DEPLU RI Sebagai Berikut: Oleh karena itu, kata-kata ” Hak Menentukan Nasib Sendiri” yang muncul pada pasal tersebut tidak berlaku bagi sebagian masyarakat di dalam negara merdeka dan berdaulat, dan tidak dapat dianggap sebagai pemberian kewenangan atau mengajak melakukan tindakan apapun yang dapat memecahkan secara keseluruhan atau sebagian keutuhan wilayah atau politik dari negara-negara yang berdaulat dan merdeka.
102. Hal ini sejalan dengan panduan umum (General Comment) No. 12 dari komite Hak-Hak Asasi manusia tertanggal 13 Maret 1984, tentang hak bangsa untuk ” Menentukan Nasib sendiri” (Pasal) yang menyatakan, ” Sejalan dengan maksud dan prinsip dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pasal 1 dari ICCPR mengakui bahwa semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak ini penting pelaksanaannya merupakan kondisi yang penting bagi penjaminan dan pemantauan hak-hak individu dan bagi pemajuan dan penguatan hak tersebut. Karena alasan ini, memajukan hak menentukan nasib sendiri sebagai  ketentuan hukum positif didalam kedua kovenan dan menempatkan ketentuan ini sebagai pasal 1 yang terpisahkan dan didahulukan sebelum hak-hak lain yang terdapat didalam kedua Kovenan ini. Komite HAM ini mengangkap bahwa sejarah telah membuktikan pelaksanaan dan penghargaan terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri memberi andil  bagi pembentukan hubungan dan kerjasama yang bersahabat antara negara dan memperkuat perdamaian dan pemahaman Internasional”.
Notes:
Pada poin ke 95 Versi DEPLU Republik Indonesia dapat menjelaskan bahwa Indonesia sepunuhnya mendukung Perjuangan Palestina, karena disana telah dan sedang terjadi Pendudukan Asing. Dalam hal ini, Activis Independence Papua Sebby Sambom berpendapat bahwa Indonesia tidak sadar kalau pendudukan Militer Indonesia di atas Tanah milik Bangsa Papua adalah Pendudukan Asing.
Bagi Orang Pribumi Papua Barat bahwa Penduduk Imigran Melayu, yang telah dan sedang menduduki Tanah Papua adalah Orang Asing yang datang sebagai pencuri, Perampok, Pemerkosa serta pembunuh dan sedang melakukan tindakan criminal, yang melanggar Hak Dasar Bangsa Papua di bagian Barat pulau New Guinea.
2.3. Tanggapan Activis Independen Papua Sebby Sambom atas uraian pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007, dalam release ini dapat dibaca pada bagian bawah ini.
Bahwa, dengan melihat, membaca, mempelajari dan menganalisis atas pendefinisian penerjemahan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007 dari No. 65 halaman 22 sampai dengan No. 102 halaman 25 diatas, maka jelaslah bahwa Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Luar Negeri Republik Indonesia telah dan sedang melakukan “Pembodohan dan Pembohongan Publik” atas makna dan arti Hukum HAM Internasional yang sesungguhnya.
Karena, terjemahan serta pendefinisian oleh Departeman Luar Negeri Republik Indonesia 2007 dapat memberikan deskripsi bahwa selama ini Pemerintah Indonesia mengabaikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat pribumi.
Bahwa, terjemahan dan pendefinisian oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia  sangat menyimbang dan jauh dari harapan Hukum HAM Internasional.
Bahwa, definisi makna yang sebenarnya tidak diartikan dalam lima definisi yang dapat diuraikan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Bahwa, oleh karena itu “International Human Rights Working Groups” yang tergabung dalam Internasional NGOs perlu mengkritisi Departemen Luar Negeri  Republik Indonesia atas penerjemahan yang menimbang dari pikiran utama masyarakat Internasional, dan mengajukan hal ini ke Dewan HAM PBB serta Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hal ini dapat menjadi perhatian oleh semua pihak yang konsisten dengan penegakan serta pemajuan atas perlindungan supermasi hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia sesuai dengan Piagam Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Asasi Manusia, yang mana dapat ditunjukan dalam Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik serta Hak-Hak ekonomi, sosial dan budaya, juga dalam Deklarasi PBB atas Hak-Hak Indigenous Peoples 2007.
Contoh Ketiga, yang mengherankan dan lebih nyata adalah apa yang diucapkan oleh Ruhut Sitompul dalam telewicara  via telephone.
Yang dimaksud adalah:
Dialog Advokasi Dengan Ruhut Sitompul
(Penasehat Hukum Presiden SBY)
Via Telephone (0811889999-081344906478 Jakarta-LP Abepura, Papua
Hari/ Tgl Dialog                      : Rabu 14 Oktober 2009
Waktu                                          : Pukul 07 : 30
Hubungkan                               : Jakarta-LP Abepura
Isu Dialog/Telewicara       : Tahanan Politik Papua di LP Abepura, Papua
Anggota Telewicara           : Rudolf Dumbubuy, Sebby Sambom-Ruhut Sitompul
(Dialog Telewicara)            : (LP Abepura, Papua-Jakarta)
Kronologis Dialog         : Rudolf Dumbubuy menelepon Ruhut Sitompul dan   memohon kontak  balik, sehingga Ruhut meneleponnya. Selanjutnya Rudolf alihkan Hp ke Sebby, kemudian  komunikasi berlanjut.
 
Dialog detail:
 
Sebby Sambom:
Selamat pagi pak, saya sebby sambom (tahanan politik) perlu menyampaikan pesan untuk Presiden SBY.
 
Ruhut Sitompul:
Anda di tahan dimana, di Polda atau Polresta?
 
Sebby Sambom:
Kami di Rumah Tahanan Negara LP Abepura, Papua.
 
Ruhut Sitompul:
Ok, silakan apa yang menjadi persoalan kepada anda?
 
Sebby Sambom:
Kami meminta perhatian Presiden SBY, karena kami ditangkap ditahan, sampai disidangkan dengan dasar yang tidak jelas dan Penuh Rekayasa Politis yang mengada-ada. Karena kami ditangkap hanya melakukan Demo damai, dan Demo damai ini adalah dijamin oleh undang-undang Pemerintah Republik Indonesia serta Perjanjian Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang terutama adalah Pasal 19: ayat 2 Kovenan Internasional dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, serta Pasal 28E Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu kami mempertanyakan kepada Presiden Indonesia, mengapa kami ditangkap dan kenapa aparat Penegak Hukum di Papua melanggar Perjanjian Internasional?
 
Ruhut Sitompul:
Apakah anda sudah hubungi Lembaga HAM Internasional?
 
Sebby Sambom:
Kami telah mengirim surat, namun belum ada tangkapan.
 
Ruhut Sitompul:
Apakah anda merah putih atau tidak?
 
Sebby sambom:
Saya activis Independence Papua, yang mengangkat isu-isu Pelanggaran HAM di Papua.
 
Ruhut Sitompul:
Apakah anda merah putih atau tidak?
 
Sebby Sambom:
Saya activis Independence Papua, tidak mengakui keberadaan Indonesia di Papua dan mempertanyakannya atas pelanggaran HAM melaui sikap protes kami dengan melakukan demontrasi-demontrasi damai. Namun kami ditangkap dan ditahan serta dapat diadili di Pengadilan tanpa bukti hokum yang mendasar.
 
Ruhut Sitompul:
Jika anda bukan merah-putih, maka selamat tinggal di penjara sampai mati. Tetapi, jika anda merah-putih, maka Kovenan Internasional melindungi anda.
 
Kesimpulannya bahwa, Kovenan Internasional berlaku bagi orang Indonesia pro merah-putih, orang Papua tidak.
Mengapa? Hal ini menjadi tanggungjawab semua pihak agar perlu pertanyakan kepada Komissioner HAM PBB di Geneva, Swizerland. Artinya, mengapa Indonesia bersikap acuh terhadap keputtusan bersama dalam deklarasi PBB atas penegakkan dan perlindungan HAM?
Dari dialog ini memberikan gambaran bahwa orang Indonesia, bisa ajak kompromi hanya dengan kelompok milisi merah putih dan mereka sudah membangun milisi di Papua dibawah pimpinan Ramses Ohee. Milisi merah putih dibawah pimpinan Ramses Ohee berjumlah 4833 orang. Yang mana telah di umumkan oleh Ramses Ohee melalui media cetak(Tabloid Suara Perempuan Papua Edisi No. 07 Tahun V, 3-8 November 2008). Kesimpulannya, bahwa cara pandang semua orang Malay Indonesia sangat primitive dan paradox. Orang Indoensia model Ruhut sitompul adalah manusia Cannibal, dalam era global ini.
Contoh KeempatPembohongan Kebenaran Sejarah terhadap publik (memutarbalikan Fakta sejarah kebenaran Demi Kepentingan Sesuap Nasi) oleh Ramses Ohee Silakan ikuti bagian bawah ini.
Milisi Barisan Merah Putih Bentukan Colonel Burhanuddin Siagian pada Juli 2007 di Aula Korem Jayapura dan yang telah resminya diumumkan oleh Ramses Ohee pada Media Tabloid Suara Perempuan Papua Edisi No. 07 Tahun V, 3-8 November 2008).
Hal ini terbukti dari fakta perlakuan atau tindakan nyata Ramses ohee, yang memutar-balikan fakta sejarah Papua demi sesuap nasi bagi keluarga dan dirinya. Pemerintah Republik Indonesia melalui Aparat Keamanannya di Papua menggunakan nama Ondo Afi Ramses Ohee, telah dan sedang melakukan pembelokan sejarah Papua.
Aparat Keamanan Pemerintah Republik Indonesia di Papua juga telah dan sedang melakukan provokasi-provokasi, terhadap orang Asli Papua melalui Lembaga Milisi Barisan Merah Putih dibawah pimpinan Ramses Ohee dan juga melalui pernyataan-pernyataan di media cetak maupun elektronik hingga kini.
Ramses Ohee dijadikan sebagai DAMENG oleh Aparat Keamanan Indonesia di Papua, guna memuluskan misi pembelokan kebenaran sejarah Aneksasi Papua kedalam wilayah NKRI.
Pembohongan public ini telah dan sedang dilakukan oleh Pangdam XVII Cenderawasih dan POLDA Papua secara berkala, dari tahun ke tahun guna meyakinkan Orang Asli Papua.
Namun fakta membuktikan bahwa Pangdam XVII Cenderawasih dan POLDA Papua sulit meyakinkan Orang Asli Papua yang benar-benar Asli. Mengapa? Karena pandangan Orang Asli Papua yang benar-benar Asli (the Indigenous Peoples of West Papua), orang Malay Indonesia adalah orang asing yang melakukan pendudukan illegal di atas tanah leluhur mereka.
Dengan dasar ini, maka Orang Asli Papua yang benar-benar Asli tetap melakukan perlawanan untuk mengusir pendudukan illegal orang asing (Indonesia) di tanah milik Bangsa Papua. Dan perlawanan akan berhenti, apabila Papua Barat berdaulat penuh, dari tangan besi penjajahan baru Indonesia. Hal ini yang perlu dipahami dengan baik oleh orang Indonesia, dan juga oleh masyarakat Internasional.
Silakan Baca Komentar Kakek Bualan ini secara online atau boleh mencari di google websearch dengan code liputan “Tabloid Suara Perempuan Papua Edisi No. 07 Tahun V, 3-8 November 2008”.
Contoh Kelima, Lambatnya Ratifikasi Kovenan Internasional atas Hak-Hak Civil dan Politik oleh Pemerintah Colonial Republik Indonesia.
Hal ini mengakibatkan Rakyat menjadi korban pelanggaran HAM selama 39 tahun. Untuk membuktikannya silakan mengikuti bagian bawah ini.
Pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12  Tahun 2005 atas Pengesahan RatifikasiInternational Covenant on Civil and Political Rights”.
Pemerintah Republik Indonesia Mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Ekonomi, Sosial dan Budaya atas persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005 dibawah tanda tangan Presiden Republik Indonesia ”Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono” dan di undangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005 dibawah tanda tangan Menteri Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia Republik Indonesia ”Hamid Awaludin dan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia ”Abdul Wahid”.
Notes:
Fakta membuktikan bahwa Pemerintah Colonial Republik Indonesia telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak Civil dan Politik serta Ekonomi dan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia selama 39 tahun lebih.
Hal ini yang dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia adalah Negara Pelanggar Hukum Internasional dan Nasional, karena Deklarasi penandatangan Kovenan ini adalah tanggal 16 Desember 1966, namun Pemerintah Indonesia baru saja meratifikasi dan disahkan pada tanggal 28 October 2005.
Semua orang wajib memperhatikan pelanggaran Hukum dan HAM yang telah dan sedang lakukan oleh Pemerintah Colonial Republik Indonesia, karena hal ini dapat merendahkan maratabat manusia.
Perlu adanya suatu tekanan oleh semua pihak, baik dari Masyarakat Internasional dan Nasional serta lembaga-lembaga yang berbasis di Indonesia dan lembaga-lembaga HAM Internasional yang bernaung dibawah payung Komisi Tinggi Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (International Human Rights Working Groups).
Demikian, lima contoh pelanggaran Hukum HAM Internasional dan Nasional yang Pemerintah Colonial Republik Indonesia lakukan di atas menjadikan tolak ukur, bahwa fakta yang sebenarnya begitu.
Pesan Activis Independence Papua Sebby Sambom kepada seluruh komponen bangsa Papua Barat
Bahwa, jangan terprovokasi oleh tawaran premen  manis Otsus Plus Pemekaran-Pemekaran Provinsi dan Kabupaten yang bertujuan untuk dominasi penduduk imigran di birokrasi, perdagangan dan bidang strategis lainnya, yang secara sistematis membunuh Hak-Hak Sipil dan Politik serta Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dari bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.
Akibatnya, telah dan sedang terjadi Marginalisasi terhadap orang asli Papua dan pelanggaran HAM, yang berujung menuju Genocide (Pemusnahan Ras) atas bangsa Papua Barat. Hasil dialog di atas dapat memberikan pandangan ideologi bangsa Papua yang kontroversi dengan  Jakarta, yang mana Jakarta bertindak Veodalistik dan tangan besi yang anti HAM dan Demokrasi.
Bahwa oleh karena itu, mohon perhatian dari masyarakat Internasional atas situasi ini, karena rakyat Papua tidak berdaya lagi untuk bertindak membela Hak-Haknya. Mengapa? Karena berhubung Pemerintah Indonesia tidak mengindahkan Instrumen-Instrumen HAM Internasional, yang mana Indonesia juga ikut serta dalam perjanjian penandatanganan tentang Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga Deklarasi PBB, atas Hak-Hak Bangsa Pribumi  (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples).
Bahasa yang sederhana adalah:
Pemerintah Republik Indonesia tidak laksanakan, Deklarasi Universal atas HAM yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum PBB (the Universal Declaration of Human Rights); Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang telah diterima dan disahkan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966; serta Deklarasi PBB atas Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang diterima dan disahkan dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat pada tanggal 13 September 2007 dengan suara mendukung 144 Negara, Abstein 11 Negara, tidak mendukung 4 Negara (Kanada, Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru), serta tidak hadir 30 Negara.
Indonesia adalah salah satu Negara Anggota PBB yang konsisten memberikan suara, mendukung dan ikut menjadi penandatanganan dalam pengesahan Deklarasi ini dalam Sidang Komisi HAM dan Sidang Majelis Umum PBB.
Oleh karena itu, Activis Independence Papua mohon perhatian dari Pemerintah-Pemerintah Anggota PBB, Komisi HAM PBB, Human Rights Watch, NGOs HAM Internasional dan Masyarakat Internasional.
Demikian release ini dapat diupdate kembali dan dipublikasikan pada media massa, guna menjadi perhatian oleh semua pihak. Karena saat ini Aparat Keamanan Pemerintah Colonial Republik Indonesia telah dan sedang melakukan banyak pelanggaran Hukum dan HAM terhadap bangsa Papua di bagian Barat pulau New Guinea.
Pelanggaran ini juga dihadapi oleh kelompok minioritas Religi di Indonesia pada umumnya, yang mana merendahkan martabat manusia dan melanggar hak kebebasan beragama. Penggaran HAM juga dapat dialami oleh penduduk orang Asli Aceh di Tanah Rencong, sama seperti orang Asli Papua di Negeri Paradise (Island of Paradise). By Sebby Sambom, Activis Independence Papua.
Sumber: WPNLA 2013

0 komentar:

Posting Komentar