Home »
» “OPM Berhak Duduk di Legislatif”
NIAT
Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka di Kabupaten
Keerom untuk melakukan aktivitas perjuangan di dalam kota, merupakan
langkah bijak yang mesti disambut oleh berbagai kalangan. Rencana
‘menggarap’ kota akan di pimpin langsung oleh Koordinator Umum TPN OPM
Lambert Pekikir.
“Ini mesti disambut baik, dulu didalam kongres Papua II di GOR
Cenderawasih, OPM juga hadir ketika itu, telah diputuskan bahwa
perjuangan Papua yang sporadis dan mengedepankan tindakan militer,
ditiadakan. Perjuangan harus dengan cara-cara damai, dan saya pikir, ini
juga yang sekarang dilakukan oleh Lambert Pekikir,” kata Pengamat Hukum
Internasional, Sosial Politik, Universitas Cenderawasih Jayapura,
Marinus Yaung kepada SULUH PAPUA, kemarin.
Menurut dia, kesimpulan besar dalam kongres ketika itu kemudian
bergeser setelah pada tahun 2003, terbit Inpres Nomor 1 tahun 2003
tentang Percepatan Pemekaran Irian Jaya Barat. Sejak itu, OPM mulai
bermanuver kembali lewat kekerasan dan melakukan aksi militer untuk
mengembalikan status politik Papua. “Bagi OPM, pilihan perjuangan dengan
dialog adalah buang-buang waktu, sejak 2003 mereka kembali di hutan
hutan, namun belakangan, itu berubah,” ujarnya.
Baginya, perjuangan lewat kekerasan tidak lagi didukung dunia
internasional. “Dunia internasional mendorong penyelesaian masalah Papua
lewat dialog, kalau di daerah pegunungan ada cara-cara lain di luar
dialog, maka itu tidak akan mendapat simpati luar negeri. Sekali lagi,
untuk mencapai Papua damai, maka pilihan cuma satu yaitu dialog damai,”
ucapnya.
Ia memandang, ketika Lambert Pekikir telah memulai mengambil langkah
dengan turun kota untuk merangkul berbagai kalangan duduk berunding
berbicara Papua, suatu ketika, hal yang sama akan pula di lakukan
Goliath Tabuni. “Itu bisa saja, dialog memang menjadi pilihan, bukan
dialog Jakarta Papua, tapi Papua Jakarta, karena inisitaif damai itu
datang dari orang Papua, metode juga cara berdialog itu dipikirkan orang
Papua, jadi konsep ini yang harus diubah, bahwa dialog adalah, Papua
Jakarta,” paparnya.
Yaung menambahkan, ‘aksi’ Lambert Pekikir bukan pertanda idealisme
mereka luntur. “Tapi hanya sinyal pergeseran perjuangan. Bahwa OPM
berjuang untuk mendapatkan kewenangan dalam kekuatan politik di tingkat
lokal, dan ini bukan sesuatu yang baru, dulu GAM juga melakukan hal yang
sama,” jelasnya.
OPM ketika sudah sampai pada tingkat tersebut, lanjutnya, dapat saja
duduk di kursi legislatif. “Perjuangan merdeka ini yakni dalam bentuk
ikut terlibat mempengaruhi kekuatan politik di tingkat lokal, lambert
juga sekiranya sekarang berjuang ke arah itu, ini bagus, dan wajar,”
katanya.
OPM kata Yaung, mesti diberi kesempatan, juga ruang untuk bergerak
bebas didalam kota. “Ini bagian dari semangat otsus Papua, bahwa
siapapun, tak terkecuali kelompok yang berseberangan, patut mendapat
ruang demokrasi. Seperti GAM di Aceh, dan ini sebenarnya waktu yang
terbaik bagi Lukas Enembe membuka kesempatan bagi OPM, intinya, mesti
ada keadilan bagi OPM dengan tidak harus menjust mereka sebagai musuh,”
tukasnya.
Sebelumnya, seperti dilaporkan SULUH PAPUA, Jumat 15 November 2013,
TPN OPM di Kabupaten Keerom mulai ‘bergerilya’ didalam kota menuju usaha
yang disebut perundingan damai. “Revolusi Papua sudah berjalan 40
tahun, korban terus berjatuhan, namun tidak ada satu titik terang yang
jelas untuk penyelesaian konflik, yang ada hanya isu diatas isu,” kata
Lambert Peukikir kepada SULUH PAPUA.
Ia mengatakan, OPM di hutan rimba selalu lantang bersuara merdeka. Di
luar negeri, para diplomat juga menggalangkan dukungan internasional
bagi Papua. Sayang, korban terus berjatuhan. “Menurut saya, bagaimana
kalau kita duduk dalam satu meja, dalam bentuk perundingan damai antara
pemerintah Indonesia dengan OPM, melibatkan pihak terkait seperti
Belanda dan PBB. Karena menurut Indonesia Papera itu sudah sah,
sedangkan bangsa Papua, Papera itu tidak sah. Antara sah dan tidak sah
ini, mengapa kita tidak duduk bersama menghilangkan konflik,” katanya.
“Saya sudah datang bawa diri, saya minta supaya senjata diletakkan,
ditengah-tengah perjalanan ini, kita juga harus menahan diri tidak boleh
mengambil tindakan yang dapat berdampak pada masyarakat,” katanya.
Kasus kekerasan di Papua kata dia, tak akan pernah berakhir apabila
masing-masing pihak bertahan dengan pendapatnya. “Selama ini saya selalu
dituduh bikin kacau, padahal itu tidak benar. Saya juga minta seluruh
rakyat Papua djamin keamanannya, masyarakat jangan dijadikan sebagai
proyek untuk kepentingan orang perorang.”
Dalam perjuangannya, ia merasa kemerdekaan itu begitu jauh. “Saya 24
tahun berjuang untuk Papua. Tapi apa yang kita dapat?, informasi dari
luar negeri, bahwa Papua akan merdeka, tapi itu tidak pernah terjadi.
Kemarin saya dapat info lagi bahwa, September 2014 nanti akan ada
Referendum, tapi apakah benar? Namun menurut saya, tidak apa, itu bagian
spirit dari perjuangan.”
“Saya lihat, dari sisi kemanusiaan, pengorbanan sudah terlalu banyak.
Maka langkah saya untuk penyelesaian masalah adalah duduk berunding
bersama-sama. Saya sudah siap berkorban, karena pengorbanan rakyat ini
sudah terlalu banyak. Siapa yang melakukan penembakan harus
bertanggungjawab,” pungkasnya. (JR/R4)
sumber : http://ht.ly/qSOez
0 komentar:
Posting Komentar