Home » » “OPM Berhak Duduk di Legislatif”

“OPM Berhak Duduk di Legislatif”

Written By Unknown on Sabtu, 16 November 2013 | 22.04

Lambert-Pekikir-lagi

NIAT Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka di Kabupaten Keerom untuk melakukan aktivitas perjuangan di dalam kota, merupakan langkah bijak yang mesti disambut oleh berbagai kalangan. Rencana ‘menggarap’ kota akan di pimpin langsung oleh Koordinator Umum TPN OPM Lambert Pekikir.
“Ini mesti disambut baik, dulu didalam kongres Papua II di GOR Cenderawasih, OPM juga hadir ketika itu, telah diputuskan bahwa perjuangan Papua yang sporadis dan mengedepankan tindakan militer, ditiadakan. Perjuangan harus dengan cara-cara damai, dan saya pikir, ini juga yang sekarang dilakukan oleh Lambert Pekikir,” kata Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik, Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung kepada SULUH PAPUA, kemarin.
Menurut dia, kesimpulan besar dalam kongres ketika itu kemudian bergeser setelah pada tahun 2003, terbit Inpres Nomor 1 tahun 2003 tentang Percepatan Pemekaran Irian Jaya Barat. Sejak itu, OPM mulai bermanuver kembali lewat kekerasan dan melakukan aksi militer untuk mengembalikan status politik Papua. “Bagi OPM, pilihan perjuangan dengan dialog adalah buang-buang waktu, sejak 2003 mereka kembali di hutan hutan, namun belakangan, itu berubah,” ujarnya.
Baginya, perjuangan lewat kekerasan tidak lagi didukung dunia internasional. “Dunia internasional mendorong penyelesaian masalah Papua lewat dialog, kalau di daerah pegunungan ada cara-cara lain di luar dialog, maka itu tidak akan mendapat simpati luar negeri. Sekali lagi, untuk mencapai Papua damai, maka pilihan cuma satu yaitu dialog damai,” ucapnya.
Ia memandang, ketika Lambert Pekikir telah memulai mengambil langkah dengan turun kota untuk merangkul berbagai kalangan duduk berunding berbicara Papua, suatu ketika, hal yang sama akan pula di lakukan Goliath Tabuni. “Itu bisa saja, dialog memang menjadi pilihan, bukan dialog Jakarta Papua, tapi Papua Jakarta, karena inisitaif damai itu datang dari orang Papua, metode juga cara berdialog itu dipikirkan orang Papua, jadi konsep ini yang harus diubah, bahwa dialog adalah, Papua Jakarta,” paparnya.
Yaung menambahkan, ‘aksi’ Lambert Pekikir bukan pertanda idealisme mereka luntur. “Tapi hanya sinyal pergeseran perjuangan. Bahwa OPM berjuang untuk mendapatkan kewenangan dalam kekuatan politik di tingkat lokal, dan ini bukan sesuatu yang baru, dulu GAM juga melakukan hal yang sama,” jelasnya.
OPM ketika sudah sampai pada tingkat tersebut, lanjutnya, dapat saja duduk di kursi legislatif. “Perjuangan merdeka ini yakni dalam bentuk ikut terlibat mempengaruhi kekuatan politik di tingkat lokal, lambert juga sekiranya sekarang berjuang ke arah itu, ini bagus, dan wajar,” katanya.
OPM kata Yaung, mesti diberi kesempatan, juga ruang untuk bergerak bebas didalam kota. “Ini bagian dari semangat otsus Papua, bahwa siapapun, tak terkecuali kelompok yang berseberangan, patut mendapat ruang demokrasi. Seperti GAM di Aceh, dan ini sebenarnya waktu yang terbaik bagi Lukas Enembe membuka kesempatan bagi OPM, intinya, mesti ada keadilan bagi OPM dengan tidak harus menjust mereka sebagai musuh,” tukasnya.
Sebelumnya, seperti dilaporkan SULUH PAPUA, Jumat 15 November 2013, TPN OPM di Kabupaten Keerom mulai ‘bergerilya’ didalam kota menuju usaha yang disebut perundingan damai. “Revolusi Papua sudah berjalan 40 tahun, korban terus berjatuhan, namun tidak ada satu titik terang yang jelas untuk penyelesaian konflik, yang ada hanya isu diatas isu,” kata Lambert Peukikir kepada SULUH PAPUA.
Ia mengatakan, OPM di hutan rimba selalu lantang bersuara merdeka. Di luar negeri, para diplomat juga menggalangkan dukungan internasional bagi Papua. Sayang, korban terus berjatuhan. “Menurut saya, bagaimana kalau kita duduk dalam satu meja, dalam bentuk perundingan damai antara pemerintah Indonesia dengan OPM, melibatkan pihak terkait seperti Belanda dan PBB. Karena menurut Indonesia Papera itu sudah sah, sedangkan bangsa Papua, Papera itu tidak sah. Antara sah dan tidak sah ini, mengapa kita tidak duduk bersama menghilangkan konflik,” katanya.
“Saya sudah datang bawa diri, saya minta supaya senjata diletakkan, ditengah-tengah perjalanan ini, kita juga harus menahan diri tidak boleh mengambil tindakan yang dapat berdampak pada masyarakat,” katanya.
Kasus kekerasan di Papua kata dia, tak akan pernah berakhir apabila masing-masing pihak bertahan dengan pendapatnya. “Selama ini saya selalu dituduh bikin kacau, padahal itu tidak benar. Saya juga minta seluruh rakyat Papua djamin keamanannya, masyarakat jangan dijadikan sebagai proyek untuk kepentingan orang perorang.”
Dalam perjuangannya, ia merasa kemerdekaan itu begitu jauh. “Saya 24 tahun berjuang untuk Papua. Tapi apa yang kita dapat?, informasi dari luar negeri, bahwa Papua akan merdeka, tapi itu tidak pernah terjadi. Kemarin saya dapat info lagi bahwa, September 2014 nanti akan ada Referendum, tapi apakah benar? Namun menurut saya, tidak apa, itu bagian spirit dari perjuangan.”
“Saya lihat, dari sisi kemanusiaan, pengorbanan sudah terlalu banyak. Maka langkah saya untuk penyelesaian masalah adalah duduk berunding bersama-sama. Saya sudah siap berkorban, karena pengorbanan rakyat ini sudah terlalu banyak. Siapa yang melakukan penembakan harus bertanggungjawab,” pungkasnya. (JR/R4)
sumber :  http://ht.ly/qSOez

0 komentar:

Posting Komentar