Home » » Pelanggaran HAM di Papua Tak Bisa Disepelekan

Pelanggaran HAM di Papua Tak Bisa Disepelekan

Written By Unknown on Rabu, 27 November 2013 | 20.11

kasad-socratez“KEBENARAN akan datang walaupun terlambat. You kill the man but you never kill the ideology.”
Demikian dikatakan akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Feri Kareth, SH, M.Hum dalam seminar bertajuk ‘Seminar dan Diskusi Publik Menyikapi Dinamika Politik, Demokrasi dan HAM di Papua dalam rangka Menciptakan Papua yang Aman, Mandiri dan Sejahtera’, di Auditorium Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Padangbulan, Kota Jayapura, Sabtu (23/11).
Menurut Feri, masalah Papua yang alot perlu diselesaikan melalui dialog antara Pemerintah Pusat, orang Papua, dan dimediasi pihak internasional.“Poinnya adalah harus dibuka dialog antara rakyat Papua dengan pemerintah, dan harus dihadiri internasional memakai mekanisme baku sesuai hukum internasional,“ tegasnya.
Ia menyayangkan, bahwa dalam seminar yang dihadiri ratusan orang dari berbagai elemen dengan pembicara Sekretaris Jenderal Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) dan aktivis HAM Markus Haluk, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, ini tidak dihadiri perwakilan pemerintah.
Sedianya, menurut undangan,Gubernur Papua Lukas Enembe, S.IP, M

H, Kapolda Papua Irjen Polisi Tito Karnavian dan Kakanwil Hukum dan HAM Papua juga diundang sebagai pembicara. Namun hingga laporan ini diturunkan, SULUH PAPUA belum memintai konfirmasi.
“Kita bicara HAM, berarti perwakilan pemerintah harus hadir. Kenapa takut? Apa yang ditakuti,” kata Feri Kareth menanggapi ketidakhadiran wakil dari pemerintah RI.
Menyangkut kondisi demokrasi di tanah Papua, Ketua Dewan Nasional Papua Engelbert Sorabut yang hadir dalam seminar dan diskusi publik ini berpendapat, selama ini terjadi pembungkaman terhadap ruang demokrasi di Papua. Suara rakyat kecil dinilainya tidak pernah ditanggapi pemerintah.
“Bagaimana perlindungan pemerintah terhadap warganya?Persoalan Papua ini perlu ada dialog, antara korban dan pelaku. Orang Papua dan negara,” kata Engelbert.
Sekjen AMPTPI Markus Haluk beranggapan harus ada pemetaan terhadap aktor yang berperan dengan perdamaian di Papua. Menurut Markus, ada tiga aktor perdamaian Papua, yaitu penduduk sipil di dalam negeri, orang Papua di luar negeri, dan orang Papua yang masih memegang senjata dan berjuang di hutan. Tiga aktor ini harus diidentifikasi, misalnya siapa aktor yang bermain.
“Dalam sejarah perjuangan Papua Merdeka, tiga aktor ini mempunyai peranan masing-masing,” kata Markus Haluk.
Markus menjelaskan, dasar-dasar perjuangan Papua Merdeka sudah dicetuskan 19 Oktober 1961, dasar-dasar negara, bendera, dan lambang negara. Ketiga aktor yang Markus sebut hadir dalam memperjuangkan keberadaan Negara Papua. Hasilnya, 1 Desember 1961 dipublikasikan ke dunia internasional sebagai hari kemerdekaan Papua.
Semua pihak, ujarnya, ada dua aktor yang terlibat 1961 dinilai sebagai bagian dari kebenaran sejarah yang tidak bisa dilupakan (diingkari). Kelompok kedua ini adalah kelompok yang mengangkat senjata pada 1965 di hutan dan berbuntut pada proklamasi 1 Juli 1971. “Kelompok ini kuat dan masih ada,” katanya. Selanjutnya, kelompok ketiga muncul pada 14 Desember 1988 dibawah kepemimpinan Dr Tom Wanggai.
Dari semua aktor dan peristiwa yang menyertainya, kata Markus, yang harus dipegang adalah peristiwa 1 Desember 1961. Markus menilai karena saat itu Papua dalam proses setengah merdeka karena bendera Bintang Kejora berkibar bersamaan dengan bendera PBB. Peristiwa 1 Juli dan 1 Desember yang diwarisi dan tidak bertahan dalam rentang waktu yang lama dan berbuntut pada beberapa aktivis atau aktor yang mencari suaka di luar negeri.
Juli lahir kongres Papua II, dimana mulainya perjuangan damai. “Itu satu tekad yang masih kita pegang. Harapan kemerdekaan terkesan semakin redup, kecuali beberapa yang masih kuat,” kata Haluk.
Menurut Markus Haluk, seperti dalam dasar pemikiran seminar Sabtu itu, selain masalah pembangunan, demokrasi dan HAM di Papua tidak bisa disepelekan. Keamanan dan akses demokrasi juga sebagai tolok ukur berhasil atau tidaknya pembangunan.“Keamanan tanpa demokrasi yang baik, sia-sia belaka,” tandasnya
Terpisah, saat Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Budiman berkunjung ke Papua, Jumat (22/11), di hadapan 2000 prajurit Kodam XVII/Cenderawasih, ia menekankan bahwa pemerintah memberikan perhatian yang sangat luar biasa untuk Papua dan Papua Barat. Dia berujar, Kodam XVII/Cenderawasih berkewajiban membantu terselenggaranya serta berjalannya UU Nomor 21 Tahun 2001 secara baik dan benar guna terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat Papua.
“Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Papua adalah rakyat Indonesia yang harus kita cintai, kita majukan dan kita jadikan hebat. Dalam membangun Papua kita harus berantas kemiskinan, kebodohan dan hilangkan rasa curiga, dalam memajukan dan menyejahterakan masyarakat, tetapi tetap waspada dalam melaksanakan tugas,” kata Kasad Jenderal TNI Budiman.
Menurut Kasad, rakyat Papua mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat di provinsi lain di Indonesia. Karena itu, harus membantu menempatkannya dengan penuh damai dan rasa keadilan.
“Untuk urusan Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) harus ditindak secara tegas, kedepankan protap yang berlaku, pegang teguh Hak Asasi Manusia (HAM) namun tidak menjadikan prajurit takut. Hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada rakyat Papua,” tegas Jenderal TNI Budiman.
Pendeta Socratez menekankan bahwa perjuangan Papua adalah perjuangan damai, bukan dengan kekerasan. “Kita adalah bangsa yang bermartabat, bukan bangsa budak,” kata Pendeta Socratez. 

Sumber : www.suluhpapua.com

0 komentar:

Posting Komentar