“KEBENARAN akan datang walaupun terlambat. You kill the man but you never kill the ideology.”
Demikian dikatakan akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Feri
Kareth, SH, M.Hum dalam seminar bertajuk ‘Seminar dan Diskusi Publik
Menyikapi Dinamika Politik, Demokrasi dan HAM di Papua dalam rangka
Menciptakan Papua yang Aman, Mandiri dan Sejahtera’, di Auditorium
Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Padangbulan, Kota
Jayapura, Sabtu (23/11).
Menurut Feri, masalah Papua yang alot perlu diselesaikan melalui
dialog antara Pemerintah Pusat, orang Papua, dan dimediasi pihak
internasional.“Poinnya adalah harus dibuka dialog antara rakyat Papua
dengan pemerintah, dan harus dihadiri internasional memakai mekanisme
baku sesuai hukum internasional,“ tegasnya.
Ia menyayangkan, bahwa dalam seminar yang dihadiri ratusan orang dari
berbagai elemen dengan pembicara Sekretaris Jenderal Aliansi Mahasiswa
Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) dan aktivis HAM Markus Haluk,
Pendeta Socratez Sofyan Yoman, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis
Papua, ini tidak dihadiri perwakilan pemerintah.
Sedianya, menurut undangan,Gubernur Papua Lukas Enembe, S.IP, M
H,
Kapolda Papua Irjen Polisi Tito Karnavian dan Kakanwil Hukum dan HAM
Papua juga diundang sebagai pembicara. Namun hingga laporan ini
diturunkan, SULUH PAPUA belum memintai konfirmasi.
“Kita bicara HAM, berarti perwakilan pemerintah harus hadir. Kenapa
takut? Apa yang ditakuti,” kata Feri Kareth menanggapi ketidakhadiran
wakil dari pemerintah RI.
Menyangkut kondisi demokrasi di tanah Papua, Ketua Dewan Nasional
Papua Engelbert Sorabut yang hadir dalam seminar dan diskusi publik ini
berpendapat, selama ini terjadi pembungkaman terhadap ruang demokrasi di
Papua. Suara rakyat kecil dinilainya tidak pernah ditanggapi
pemerintah.
“Bagaimana perlindungan pemerintah terhadap warganya?Persoalan Papua
ini perlu ada dialog, antara korban dan pelaku. Orang Papua dan negara,”
kata Engelbert.
Sekjen AMPTPI Markus Haluk beranggapan harus ada pemetaan terhadap
aktor yang berperan dengan perdamaian di Papua. Menurut Markus, ada tiga
aktor perdamaian Papua, yaitu penduduk sipil di dalam negeri, orang
Papua di luar negeri, dan orang Papua yang masih memegang senjata dan
berjuang di hutan. Tiga aktor ini harus diidentifikasi, misalnya siapa
aktor yang bermain.
“Dalam sejarah perjuangan Papua Merdeka, tiga aktor ini mempunyai peranan masing-masing,” kata Markus Haluk.
Markus menjelaskan, dasar-dasar perjuangan Papua Merdeka sudah
dicetuskan 19 Oktober 1961, dasar-dasar negara, bendera, dan lambang
negara. Ketiga aktor yang Markus sebut hadir dalam memperjuangkan
keberadaan Negara Papua. Hasilnya, 1 Desember 1961 dipublikasikan ke
dunia internasional sebagai hari kemerdekaan Papua.
Semua pihak, ujarnya, ada dua aktor yang terlibat 1961 dinilai
sebagai bagian dari kebenaran sejarah yang tidak bisa dilupakan
(diingkari). Kelompok kedua ini adalah kelompok yang mengangkat senjata
pada 1965 di hutan dan berbuntut pada proklamasi 1 Juli 1971. “Kelompok
ini kuat dan masih ada,” katanya. Selanjutnya, kelompok ketiga muncul
pada 14 Desember 1988 dibawah kepemimpinan Dr Tom Wanggai.
Dari semua aktor dan peristiwa yang menyertainya, kata Markus, yang
harus dipegang adalah peristiwa 1 Desember 1961. Markus menilai karena
saat itu Papua dalam proses setengah merdeka karena bendera Bintang
Kejora berkibar bersamaan dengan bendera PBB. Peristiwa 1 Juli dan 1
Desember yang diwarisi dan tidak bertahan dalam rentang waktu yang lama
dan berbuntut pada beberapa aktivis atau aktor yang mencari suaka di
luar negeri.
Juli lahir kongres Papua II, dimana mulainya perjuangan damai. “Itu
satu tekad yang masih kita pegang. Harapan kemerdekaan terkesan semakin
redup, kecuali beberapa yang masih kuat,” kata Haluk.
Menurut Markus Haluk, seperti dalam dasar pemikiran seminar Sabtu
itu, selain masalah pembangunan, demokrasi dan HAM di Papua tidak bisa
disepelekan. Keamanan dan akses demokrasi juga sebagai tolok ukur
berhasil atau tidaknya pembangunan.“Keamanan tanpa demokrasi yang baik,
sia-sia belaka,” tandasnya
Terpisah, saat Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI
Budiman berkunjung ke Papua, Jumat (22/11), di hadapan 2000 prajurit
Kodam XVII/Cenderawasih, ia menekankan bahwa pemerintah memberikan
perhatian yang sangat luar biasa untuk Papua dan Papua Barat. Dia
berujar, Kodam XVII/Cenderawasih berkewajiban membantu terselenggaranya
serta berjalannya UU Nomor 21 Tahun 2001 secara baik dan benar guna
terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat Papua.
“Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat Papua adalah rakyat Indonesia yang harus kita cintai, kita
majukan dan kita jadikan hebat. Dalam membangun Papua kita harus
berantas kemiskinan, kebodohan dan hilangkan rasa curiga, dalam
memajukan dan menyejahterakan masyarakat, tetapi tetap waspada dalam
melaksanakan tugas,” kata Kasad Jenderal TNI Budiman.
Menurut Kasad, rakyat Papua mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dengan rakyat di provinsi lain di Indonesia. Karena itu, harus membantu
menempatkannya dengan penuh damai dan rasa keadilan.
“Untuk urusan Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) harus ditindak
secara tegas, kedepankan protap yang berlaku, pegang teguh Hak Asasi
Manusia (HAM) namun tidak menjadikan prajurit takut. Hal ini dilakukan
untuk memberikan perlindungan kepada rakyat Papua,” tegas Jenderal TNI
Budiman.
Pendeta Socratez menekankan bahwa perjuangan Papua adalah perjuangan
damai, bukan dengan kekerasan. “Kita adalah bangsa yang bermartabat,
bukan bangsa budak,” kata Pendeta Socratez.
Sumber : www.suluhpapua.com
Senator Tabuni ajak masyarakat jaga kedamaian di Pilkada Papua Tengah
-
Jayapura, Jubi – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atau
DPD RI Lis Tabuni mengajak seluruh pemilih di Papua Tengah menggunakan hak
suara...
3 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar