"Kita bukan narapidana politik, tetapi Tawanan Politik.
Dalam surat atau pernyataan sikap selama ini, saya lebih suka pakai
Tawanan Politik karena sebutan narapidana politik oleh Indonesia itu
identik dengan pelaku kriminal. Kita ditahan bukan karena melakukan
kriminal, tetapi karena melakukan aksi politik untuk Papua merdeka",
demikian pernyataan Filep J. S. Karma saat kami diskusi penyamaan
persepsi menyikapi rencana pemberian grasi oleh presiden Republik
Indonesia. Pernyataan Filep di atas merupakan sikap penolakan penyebutan
"narapidana politik" oleh Negara Kolonial Indonesia kepada para tahanan
suara hati nurani yang ditangkap dan ditahan dengan sewenang-wenang.
Dalam pertemuan yang digelar pada tanggal 24 Mei 2013, para Tahanan Suara Hati Nurani Bangsa Papua di Penjara Abepura telah menyepakati penggunaan "TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA (TAPOL PM)". Mengapa kami sepakati pakai sebutan Tawanan Politik Papua Merdeka dan menolak sebutan Narapidana Politik? Pertanyaan ini ku jelaskan dalam artikel di bawah ini.
Di negara Indonesia, untuk membedakan antara orang yang
diduga melakukan aksi politik yang bertentangan dengan hukum pidana,
yang masih diproses hukum dan pelaku aksi politik yang sudah memiliki
keputusan tetap (inkrah), menggunakan sebutan "tahanan politik" dan
"narapidana politik". Disebut tahanan politik (tapol) apabila masih
dalam proses hukum; dan disebut narapidana politik (napol) apabila sudah
memiliki keputusan hukum yang inkrah (tetap).
Sebutan "narapidana politik" berkonotasi
negatif, yaitu "orang kriminal politik". Dengan adanya pengertian
"narapidana politik" yang berkonotasi negatif ini, maka orang yang
diduga melanggar hukum atau orang yang dipenjara akibat melakukan aksi
politik dipandang juga sebagai penjahat, maka pihak berwajib (aparat
keamanan) dan sipir penjara di Indonesia selalu menyamakan tahanan
politik dengan tahanan dan narapidana kriminal umum. Bahkan sering kali
para tahanan politik diperlakukan diskriminatif dan ditindak dengan
sewenang-wenang oleh para pihak berwajib (TNI/POLRI) dan sipir penjara.
Hal itu terjadi karena minimnya pemahaman mereka terhadap status Tahanan
Politik.
Sebutan narapidana politik adalah bagian dari upaya Negara
Indonesia untuk mengkriminalisasi aspirasi politik yang disampaikn dan
diperjuangkan melalui cara-cara yang damai. Memang ada pula orang yang
ditahan karena membuat aksi politik dengan kekerasan, misalnya dengan
menggunakan senjata api/ senjata tradisional untuk mencapai tujuan
politiknya. Sebutan narapidana politik tidak tepat digunakan kepada
mereka yang ditahan karena memperjuangkan kebebasan bangsa nya dari
penjajahan bangsa lain. Mereka yang dipenjara dengan latar belakang
kasus perbedaan ideologi kebangsaan, sipir penjara tidak mampu dan tidak
pernah mengubah ideologi yang diperjuangkannya. Karna itu sebutan
narapidana politik bagi pelaku yang berlatar belakang kasus aksi
politik, tidak tepat digunakan. Penggunaan sebutan yang tepat dalam
kategori kasus ini adalah "tawanan politik independen".
Sebutan "narapidana politik" yang berkonotasi negatif
tidak diterima oleh para tahanan politik Papua. Pada tanggal 24 Mei 2013
di Penjara Abepura - Jayapura - Papua, para tahanan suara hati nurani
bangsa Papua menyatakan menolak tegas penyebutan "narapidana politik"
dan menyepakati menggunakan "TAWANAN POLITIK PAPUA MERDEKA".
Pemilihan penggunaan tawanan politik karena beberapa
alasan, yaitu: pertama, sejak bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI,
bangsa Papua telah ditawan oleh NKRI dan para sekutunya. Kedua, secara
khusus para Tahanan suara hati nurani bangsa Papua ditawan oleh RI di
Penjara-penjara kolonial Indonesia. Ketiga, sebutan narapidana politik
berkonotasi negatif, yaitu "orang kriminal politik atau pelaku kriminal
politik".
Dalam kamus bahasa Inggris karya John M. Echols &
Hassan Shadily, kata "prisoner" dapat disebut "orang hukuman" atau
"tawanan". Ada beberapa jenis tawanan, antara lain: tawanan perang
(prisoner of war), tawanan politik (prisoner of political), dll.
Berikut ini saya menguraikannya agar dapat dipahami dengan
baik tentang tawanan politik. Jika negara melalui aparat berwajib
menangkap dan menahan para aktifis pejuang kebebasan suatu bangsa, maka
para aktifis itu ditawan oleh negara penjajah. Para tawanan itu adalah
"tawanan politik pejuang kebebasan kebangsaan". Para tawanan politik
pejuang kebebasan bangsa, sebagai salah satu bukti nyata adanya gerakan
kebebasan bangsa dari penjajahan bangsa lain. Negara penjajah memenjara
para tawanan politik secara khusus dan negara kolonial memenjara bangsa
terjajah secara umum.
Para tawanan, ada yang ditawan dalam keadaan biasa dan
luar biasa. Tawanan perang dan tawanan politik masuk dalam kategori
tahanan khusus.
Dalam
suasana perang antara dua negara atau dua bangsa atau lebih, jika ada
pihak lawan ditangkap dan diamankan, maka dapat disebut "tawanan perang"
(prisoner of war). Dalam keadaan tidak perang, suatu negara dapat
menahan warganya yang melakukan pembangkangan dengan kekerasan dan atau
memprotes dengan damai kepada pemerintah. Kategori kasus ini dapat
dikatakan "Tahanan Politik" atau bisa juga disebut "tawanan politik".
Dalam keadaan tidak perang/ semi perang atau perang, jika rakyat
pribumi dari suatu bangsa yang menuntut kebebasan bangsa dari penjajahan
bangsa lain, dan berusaha mencapai tujuannya dengan melakukan aksi
politik dengan damai dan atau dengan menggunakan senjata api atau
senjata tradisional. Jika diantara para pejuang kemerdekaan itu, ada
yang ditahan oleh negara penjajah, maka disebut "tahanan politik" atau
"tawanan politik".
Untuk
membedakan antara tawanan perang, dan tahanan/tawanan politik, maka
berikut ini devinisinya. Tawanan perang adalah tentara yang ditangkap
dan ditahan selama atau setelah berakhir konflik bersenjata antara dua
negara/bangsa atau lebih. Tahanan atau tawanan politik dibagi ke dalam
dua kategori; yaitu pertama, di penjara karena pembangkangan untuk
merombak tatanan negara/pemerintahan (melakukan aksi politik, tetapi
tujuan aksinya tidak untuk mendirikan negara); kedua, dipenjara karena
memperjuangkan kebebasan suatu bangsa (melakukan aksi politik untuk
mendirikan negara baru).
Warga
negara yang ditahan oleh negara akibat pembangkangan atau melakukan aksi
protes untuk memperbaiki sistem pemerintahan/negara dikategorikan ke
dalam tawanan politik biasa. Sedangkan tawanan politik untuk kemerdekaan
adalah orang yang ditahan oleh negara/bangsa lain akibat memperjuangkan
kebebasan bangsa nya dari penjajahan negara/bangsa lain.
menerima grasi itu. Tindakan ini dipandang sebagai suatu
pengkhianatan terhadap perjuangan kebebasan bangsa. Karena dengan
menerima grasi dari kepala negara/kerajaan berarti menyerah kepada rezim
penjajah.
Khususnya
bagi tawanan politik biasa dapat menerima grasi karena ia tidak
berjuang untuk mendirikan negara baru. "Tawanan politik biasa" selama ia
dipenjara mendapat pembinaan khusus oleh negara melalui sipir penjara
untuk mengubah perilaku dan merehablitasi nama baik dengan mentaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara setempat. Seperti
para Tawanan Politik yang dipenjara karena pemberontakan PKI (Partai
Komunis Indonesia). Diantara mereka ada pula difonis seumur hidup, namun
dibebaskan oleh presiden Indonesia dengan diberikan grasi.
Camkanlah
bahwa para tawanan politik Papua merdeka bukan kriminal politik. Justru
negara kolonial Indonesia adalah "Rezim Kriminal Politik". Mengapa NKRI
adalah Rezim Kriminal Politik? Pertama, NKRI menganeksasi kemerdekaan
kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui invasi politik dan
militer. Kedua, NKRI tidak memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi
orang asli Papua untuk Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun
1969. Karena itu saya katakan "Pemaksaan Pendapat Rakyat" (PEPERA), maka
Penentuan Pendapat Rakyat itu dapat dikatakan "cacat hukum dan moral".
Ketiga, NKRI masih mempertahankan Papua Barat dalam NKRI dengan
cara-cara kotor dan tidak beradab.
Saat ini Negara Indonesia merasa kuat dan mampu untuk
mempertahankan berbagai bangsa dari Sabang sampai Merauke yang telah
direkayasa menjadi satu bangsa dan satu negara dalam bingkai "NKRI",
dengan semboyang "Bhineka Tunggal Ika" dan dengan falsafah "Pancasila".
NKRI melakukan berbagai strategi dan taktik untuk menghancurkan tatanan
dasar hidup rakyat bangsa Papua dan menciptakan berbagai krisis di tanah
Papua. Krisis krisis itu bagaikan badai yang silih berganti. Tetapi
bangsa Papua memiliki keyakinan bahwa berbagai badai ini pasti akan
berlalu; rezim NKRI pasti akan angkat kaki dari tanah air Papua Barat;
sejarah bangsa-bangsa merdeka di dunia telah mencatat bahwa "pintu
penjara" telah terbukti menjadi "pintu" menuju "kebebasan total", dan ku
yakin bangsa Papua pun akan terjadi demikian, indah pada waktu-Nya.
Amin.
Penulis:
Selpius Bobii, (Ketua umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua
Barat; yang juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara
Abepura) .
0 komentar:
Posting Komentar