Home » » Tak Ada Nama OPM di Freeport

Tak Ada Nama OPM di Freeport

Written By Unknown on Selasa, 22 Oktober 2013 | 06.23

Negosiasi Pengamanan Freeport, yang diteken Freeport-Polda Papua, sejak itupula, efeknya terasa. Insiden penahanan Turis Asing yang tersesat, tidak lagi dikaitkan dengan Organisasi Papua Merdeka. Bila saja belum ada kesepakatan sebelumnya, media masa pasti santer dengan berita (hilang) orang asing di Papua. Sikap miring bernada tudingan, sering mengemuka bila ada konflik kepentingan yang belum beres, antara raja uang AS dengan penjaga keamanan (whatsdog) dalam negri di Timika.

Berita kehilangan dengan dalih diculik, penembakan, pembakaran, atau gangguan keamanan apa saja, apalagi diseputar Freeport, tentu nama OPM tak luput keluar dari mulut penjaga Negara. Dugaan selama ini, bahwa rentetan peristiwa hanyalah rekayasa bisnis keamanan semata, dan dengan tidak dibawa bawa lagi nama organisasi Papua kedalam penahanan Turis mancanegara, satu hal bahwa praktik kambinghitam kian reda setelah pemodal memenuhi tuntutan upah para penjaga.

Pada nantinya, konflik terus ada bila komitmen dana pengamanan yang dari perusahaan, lambat cair atau tidak memenuhi permintaan mereka-mereka. Kebebasan aparat Negara untuk membahas sendiri dana pengamanan dari perusahaan, bikin saling sikut sana sini, saling adu taktik dan strategi untuk mengacaukan suatu wilayah dan areal, agar menjadi jembatan memuluskan suatu maksud tertentu. 

Konflik Kedaulatan
Konflik sesungguhnya yang menjadi tanggungjawab bersama, bagaimana mengentaskan bentuk intervensi asing, baik politik maupun ekonomi. Pengacau Negara yang berdasi, tidak ditegur bahkan dibatasi. Mereka lebih parah merusk kedaulatan. Lapisan sosial di Indonesia sudah berteriak kepada pemerintah untuk cegah intervensi asing.

Dari warga lokal, aktivis dan perkumpulan pengusaha pun bernada sama. Perusahaan asing terlalu banyak menopoli Indonesia. Konon, justru para pengunjung asing yang datang dan kebetulan masuk areal Freeport, mereka  ditangkap dan terperiksa. Sedangkan, bungkusan KK I Freeport tak kunjung diperiksa isinya sampai sekarang. 

Lebih baik periksa perusahaan asing seluruhnya, demi menyelamatkan pemasukan ekonomi bagi Negara, daripada sekedar tangkap warga Negara lain untuk periksa mereka. Jurang besar yang sudah kubur Indonesia, anda seolah-olah tutup mata lalu mengecar lubang kecil sarang tikus, untuk dibuka buka jadi besar. Ini praktik tipu daya aparat Negara yang bermental inlaander, lebih responsiv atasi masalah yang bukan pokok dari persoalan Negara. 

Sekarang, OPM tak dibawa-bawa kedalam masalah wisatawan asing yang salah masuk areal freeport. Justru nama OPM santer mengemuka sebagai ungkapan para pengamat social dan politik. Salah satunya, pengamat Politik yang juga alumnus UI di Jakarta, Riska Prasetya, dia mengatakan bahwa masalah Papua ternyata lebih gawat dibandingkan dengan masalah Aceh, maka perlu sikap-sikap formal yang lebih tegas dinyatakan oleh Pemerintah RI, yaitu sebuah dekrit yang menyatakan beberapa organisasi di Papua sebagai organisasi terlarang, yaitu OPM.

Boleh Masuk Papua, Asal Jangan Masuk Freeport
Iya, jangankan orang bule dari jauh datang, penduduk lokal maupun warga Negara sendiri, tidak semuanya bebas masuk areal perusahaan. Sampai sekarang protap masuk areal perusahaan yang pemiliknya tukang cangkul kebun dari Arizona itu, tentu tidak mudah.
Sembilan wisatawan mancanegara itu hendak datang ke Papua, mereka berkunjung ke daerah Taman Lorenz dan Salju Abadi di pegunungan yang satu deretan dengan gunung yang digali Freeport. Entah, salah jalan atau, memang batas areal kawasan konservasi dengan areal perusahaan sudah sama saja, berujung penahahan dan pemeriksaan.

Kamu itu pencuri, masuk tidak tanpa ijin. Ini kalimat yang pernah dilontarkan security perusahan, waktu itu, komandan sekuriti sang Jendral. Tuduhan dengan ancaman tersebut pernah dialami para jurnalis yang hendak meliput di areal FI. Prosedur ijin mrk kantongi, toh, mereka disekap kedalam pos kemanan. Bagaimana dengan nasib Turis asing, apakah mengalami nasib yang sama ditengah kondisi keterbukaan manajemen perusahaan sendiri yang akhir akhir ini, lebih terbuka kepada publik bila terjadi satu masalah.

Sejalan dengan keinginan masuk Papua tetapi tidak boleh ke Freeport, perlu simak lagi komentar dari sang pengamat tadi diatas. Pada dasarnya, pandangan terhadap Papua yang tidak substansial, kerap mengemuka, inilah proses dari pendidikan politik yang tidak cerdas, apalagi merunut pada kedaulatan ekonomi.

Menurut pengamat alumnus UI tersebut, Pemerintah RI sebenarnya selama ini menipu dirinya sendiri seolah berdaulat penuh di Papua, tetapi sebenarnya kedaulatan tersebut penuh rongrongan, karena seperti ada api dalam sekam, ada sikap perlawanan yang latent dan potensial tersembunyi dalam masyarakat. Tuh kan, sikap melawan dari Freeport seperti selama ini tidak dia ungkap.

Ke Papua Tidak Papa, Bawa Keluar Dari Papua Juga Bebas kok
Pabrik pemurnian bahan tambang (smelter) resmi ada di Jawa Timur. Sedangkan rencana pendirian pabrik bebatuan limbah Freeport, terus dan terus diwacanakan. Orang-orang perusahaan sebelumnya mengatakan pabrik smelter dibagun di Papua. Lalu, mereka bilang bangun di Sulawesi, eh ternyata balik Jawa lagi. 

Tentang ijin pendirian pabrik smelter Freeport dan lainnya, diakui oleh Wahana Lingkungan Hidup Surabaya dan pejabat setempat. Menurut Walhi-SBY, ada 15 smelter tahun ini telah merampungkan proses perizinan dan telah beroperasi. Di antaranya adalah PT Smeelting, PT Hanil Jaya Steel, PT Taman Steel, PT Bhirawa Steel, PT Pangeran Karang Murni, PT Group Modern, PT Multi Baja Industri, PT Situbondo Metalindo, dan PT Royal Nikel Nusantara. “Perusahaan itu smelter baja, feronikel, tembaga dan nikel,” . PT Smeelting yang berada di Gresik mengolah mineral dari PT Freeport. Sahamnya, milik Mitsubishi Material 60,5%, PT Freeport Indonesia 25%, PT Mitsubishi Corporation 9,5%, PT Nippon Maning and Metal Co. Ltd 5.0%. Sedangkan 10 smelter lainnya masih sedang dalam proses izin.

Nah, menyangkut pendirian pabrik ini, tenaga kerja otomatis lapangan kerja juga. Pabrik smelter Freeport bila ada di Papua, tentu menyerap tenaga kerja setempat. Bahkan pendapatan daerah pun meningkat. Negara membiarkan pemerintahan di Kabupaten Mimika mendapatkan pemasukan tunggal dari Freeport dan pajak ringan lainnya saja, tanpa harus memikirkan pemasukan dari sumber lain.

Karena bebas datang ke Papua dan bebas bawa keluar, proteksi Negara adalah masalah bersama. Perekonomian daerah di proteksi, dari daerah tentu menyetor ke pusat juga. Kenapa harus semuanya bawa keluar dari Papua? Daerah juga ada BUMD untuk join dengan industri internasional. Jangan hanya urus birokrasi saja, tetapi Perusahaan Negara di daerah perlu mendapat kesempatan. 

Semoga peristiwa 9 warga asing di areal Freeport, yang luput dari tudingan OPM, seterusnya bila ada konflik kepentingan, jangan ada lagi mulut liar yang seenaknya menyebut nama organisasi Papua sebagai tumbal dari memuluskan maksud mendapatkan uang keamanan semata. Publik juga dapat menilai sendiri, situasi masa lalu seputar Freeport dan artikel ini menjadi pelengkap.

Sumber: Kompasiana: (1) (2) (3)

0 komentar:

Posting Komentar