Home » » Orang Asli Papua Bukanlah "Bangsa Proposal"

Orang Asli Papua Bukanlah "Bangsa Proposal"

Written By Unknown on Sabtu, 23 November 2013 | 19.21



 Oleh : Felix Minggus Degei
(Tinjauan atas tulisan di Harian Bintang Papua, Edisi Rabu 20 November 2013 pada Rubrik Pendidikan dan Kesehatan)
 
Tulisan ini adalah tinjauan kritis atas tulisan berjudul "Bangsa Proposal" pada Rubrik Pendidikan Kesehatan oleh Lamadi de Lamato yang dilansir di Media Harian Lokal Bintang Papua (edisi Rabu 20 November 2013). Saya tidak ingin berpelemik di facebook. Lebih baik, artikel harus ditanggapi juga dengan artikel. 
Setelah melihat, membaca dan menelaah isi dari tulisan tersebut, membuat saya sebagai Putra Daerah Asli Papua tidak rela untuk menerimanya. Tentu, ada beberapa alasan mendasar yang membuat tidak berkenan di hati dengan tulisan tersebut. 
Di sana beberapa pernyataan yang menurut saya agak keliru. Kekeliruannya mulai terlihat sejak awal judul dari tulisan tersebut hingga di bagian isi selanjutnya.
Telaah Makna Judul "Bangsa Proposal"
Jika kita melihat dan menganalisa judul tersebut, maka ia terdiri dari dua kata yang berbeda. Kedua kata adalah masing-masing kata Bangsa dan Proposal. Tentu, kedua kata tersebut memiliki makna yang sangat luas dan mendalam.
Selain itu, tentu kita juga patut mengartikan dan memahami maknanya sesuai dengan konteks yang berbeda pula. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya penulis mencoba untuk mengkritisi dari tulisan pada judul tersebut kata demi kata. 
Pertama, kata Bangsa sendiri pernah diungkap oleh banyak ahli. Salah satunya adalah seperti yang pernah diungkapkan oleh ahli berkebangsaan Prancis, Ernest Renan. Menurutnya, Bangsa adalah suatu nyawa, suatu akal yang terjadi dari dua hal, yaitu rakyat yang harus hidup bersama-sama menjalankan satu riwayat, dan rakyat yang kemudian harus memunyai kemauan atau keinginan hidup untuk menjadi satu.
Jadi dari definisi di atas, dipahami bahwa bangsa adalah suatu kelompok manusia yang memiliki karakteristik dan ciri yang sama (nama, budaya, adat), yang bertempat  tinggal di suatu wilayah yang telah dikuasainya atas sebuah persatuan yang timbul dari rasa nasionalisme serta rasa solidaritas dari sekumpulan manusia tersebut serta mengakui negaranya sebagai tanah airnya.
Jika dikaitkan dengan konteks dalam berita, maka penulis tersebut bermaksud adalah kelompok yang memiliki kesamaan ciri-ciri seperti; nama, budaya, adat, tempat atau wilayah yang mereka tinggal. Sehingga, saya menafsirkan bahwa dalam tulisan, subjek yang disoroti adalah Bangsa Ras Melanesia Orang Asli Papua (OAP). 
Kedua, kata Proposal sendiri memiliki makna yang sangat luas dan mendalam pula. Proposal adalah rencana kerja yang disusun secara sistematis dan terinci untuk suatu kegiatan yang bersifat formal. 
Selain itu, proposal juga adalah suatu usulan kegiatan perlu dukungan atau persetujuan pihak lain. Jika dilihat dari bentuknya, maka proposal itu sendiri terdiri dari dua bentuk, antara lain proposal penelitian dalam dunia akademik pendidikan. 
Dan, proposal rancangan kerja yang memuat langkah-langkah dalam suatu kegiatan yang termasuk rencana anggaran belanjanya (budget). Dengan bentuk proposal kedua ini biasanya bersifat permohonan sesuai dengan rencana dana yang dibutuhkan. 
Selanjutnya, dipahami bahwa dalam tulisannya yang dilansir di harian Bintang Papua (20/11) tersebut adalah tentang proposal yang non penelitian dalam dunia akademik. Oleh karena itu, tentu isinya bersifat permohonan bantuan dana. 
Akan tetapi, sebenarnya tentu dari setiap proposal permohonan bantuan memiliki skala kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda. Sehingga, bagi siapa saja entah itu perseorangan maupun instansi sesungguhnya harus lebih jelih melihat, membaca dan menelaah isi dari setiap proposal lalu diresponi adalah barangkali lebih baik dari pada tidak dilihat dengan mata sekalipun cover luar dari surat tersebut lalu dimusnakan. 
Hal seperti ini, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Bapak Gubernur Papua saat ini, pada beberapa bulan yang lalu. 
Setelah membedah, membaca dan menelaah dari kedua kata, maka sudah sangatlah jelas arah dan tujuan dari penulis atas judul tulisannya. Dipahami bahwa "Ia mengatakan semua orang asli (Bangsa) Papua adalah orang (Bangsa) yang tukang bawah permohonan bantuan (Proposal). Atau, dengan pengertian lain adalah "semua orang asli (bangsa) Papua adalah pengemis uang kepada para pejabat."
Sebagai bahan reflektif, apakah memang benar, semua orang Asli Papua dari yang masih dalam kandungan hingga lanjut usia (lansia) adalah pengemis kepada para pejabat dengan permohonan bantuan (proposal), sehingga kita disebut BANGSA PROPOSAL?. 
Menurut saya, hal ini adalah keputusan yang terlalu cepat dan umum (general). Padahal, hal semacam ini harus dilihat dan dipahami secara khusus (parsial). Sesuai skala kasus, faktor penyebanya serta subjek yang bermain di dalam. 
Telaah Isi dari Tulisan
Sesungguhnya, pernyataan Bapak Gubernur yang mengatakan bahwa "Orang Papua dikaruniai kekayaan alam yang melimpah sehingga meminta-minta sangat menyalahi jati diri Orang Papua itu sendiri." Media Bintang Papua (20/11/2013).
Pernyataan di atas, sebenarnya tidaklah salah. Akan tetapi, yang perlu kita telusuri lebih dalam adalah tentang mengapa Orang Asli Papua (OAP) yang sebelumnya hanya mengenal, menogok sagu, nelayan, bercocok tanam, beternak, bertani dan berburu, tiba-tiba mengenal gaya hidup seperti yang diulas dalam tulisannya Pak Lamadi de Lamato pada media itu. 
Menurut hemat saya, perilaku dan pola hidup OAP yang sudah berubah signifikan tersebut terjadi hanya karena implementasi program pemerintah baik daerah maupun pusat selama ini yang kelihatannya tidak mendidik dan memberdayakan (mal praktek).
Janganlah heran, jika saat ini banyak masyarakat yang kelihatannya hidup hanya bergatung pada beras, mie instan, ayam kulkas dan sebagainya dari pada makanan khasnya masing-masing. 
Idealnya, penyelenggaraan program pemerintah harus bersifat memberdayakan bukan memanjakan atau pun membuat masyarakat hidup tergantung pada pemerintah semata. Ibarat "Lebih menyediakan mata kail supaya mereka bisa mencari, memancing sindiri ikan dan menghidupi nafkahnya. Sehingga, dalam hal ini pemerintah hanya memberikan bagaimana tip dan trik dari memancing itu sendiri."
Akan tetapi, semua program pemerintah selama ini hanya sifatnya memanjakan warganya terlebih khusus OAP baik sebelum dan setelah UU Otsus di Papua. Ibarat "Pemerintah selalu menyediakan ikan dari pada memberikan mata kail supaya mereka berupaya sendiri." Berbagai program pemerintah selama ini yang tidak mendidik dan memberdayakan, antara lain; pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Dana BBM, dan lain sebagainya. 
Semua program ini membuat warga terasa sama seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang setiap bulan mendapatkan gaji dan jata beras. Kondisi pembiasaan seperti ini tentu akan mengarakan masyarakat untuk selalu hidup bergantung pada pemerintah. Sehingga, tidak jarang di pedesaan masyarakat selalu menghitung hari, kapan akan datangnya bantuan dari pemerintah. Mana ada dari mereka yang sekarang berpikir tentang mata pencaharian yang sebenarnya diwariskan sejak zaman nenek moyang. 
Oleh karena itu, janganlah heran jika banyak sekali warga yang berbondong-bondong ke kantor dan rumah-rumah pejabat untuk memasukan permohonan bantuan (proposal). Karena itulah, salah satu hasil salah didik dari pemerintah sendiri yang selalu mau menyuap saja. Dari pada memberikan waktu dan ruang supaya mereka bekerja dan menghidupi nafkahnya sendiri. 
Fenomena inilah yang harus dipahami pada saat ini di tanah Papua yang sebenarnya penuh dengan susu dan madu ini. Alias "surga kecil yang jatuh ke bumi" ujar Edo Kondologit dalam lirik lagu Aku Papua. 
Dalam tulisan tersebut penulis juga menyinggung tentang sikap komunalitas yang dianut oleh OAP. Memang benar, Orang Papua itu telah mengenal sikap sosial yang tinggi. Akan tetapi, motif dari sikap tersebut tentu berbeda jika dibandingkan antara zaman dulu dengan sekarang. Masyarakat dahulu hidup terlihat begitu solid, karena mereka memiliki visi dan misi yang sama. Salah satu fenomena yang menggambarkan keharmonisan hidup komunal pada zaman dahulu OAP adalah dengan cara barter. 
Perdagangan dengan cara tukar menukar barang sudah lama terjadi antara masyarakat pesisir dan pegunungan. Salah satu contohnya adalah masyarakat dari pegunungan datang dengan hasil buruan, kulit kayu guna menukar dengan hasil laut seperti ikan, udang, kulit bia atau kerang. Selain itu, mereka juga memiliki ritual-ritual adat yang membutuhkan harus adanya kerja sama yang kuat (gotong royong), contoh Pesta Babi (Yuwo) di Paniai, dan lain sebagainya. 
Sangatlah jelas bahwa dengan adanya momentum-momentum seperti ini membuat OAP memiliki sikap sosial yang sangat besar terhadap sesamanya. Sikap keseharian yang seperti itu tentu akan menjadi kebiasaan mereka. Akan tetapi, yang membuat tidak jelas dan kabur akan nilai-nilai hidup mereka saat ini adalah dengan adanya budaya-budaya luar yang pelan tetapi pasti yang sedang mengikis nilai luhur yang dianut oleh OAP. 
Sementara itu, program dari pemerintah yang tidak mendidik dan memberdayakan juga membuat semakin suram akan gaya hidup (life style) dari OAP yang sesungguhnya. 
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hanya mau mengajak kepada kita sekalian untuk harus melihat suatu masalah itu secara holistik. Tanpa ada unsur kepentingan perseorangan maupun kelompok tertentu yang masuk dalam pelayanan kita yang sesungguhnya nan mulia. 
Bukankah kita melayani sesama kita sendiri itu adalah sama saja dengan melayani Tuhan kita? Ingatlah bahwa tanah Papua adalah tanah yang telah diberkati oleh Tuhan sendiri. Sehingga, seyogiyanya siapa pun yang berkarya di tanah ini harus berpedoman pada nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Akhir kata, sesungguhnya "KASIH ITU MENEMBUS PERBEDAAN."
Felix Minggus Degei adalah Anak Muda Papua yang Menaruh Perhatian pada Masalah Pendidikan dan Kebudayaan di Tanah Papua.

0 komentar:

Posting Komentar